Sepanjang 4 tahun masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo kerap dituduh sebagai antek komunis. Namun, di saat yang bersamaan kebijakan Jokowi juga disebut sebagai berorientasi kapitalistik.
Seluruh tuduhan itu disematkan oleh pihak oposisi. Hal tak hanya membingungkan, namun juga menunjukkan bahwa pihak oposisi mengkritik tanpa tahu kritikannya.
Persisnya mereka mengkritik tanpa dasar data dan fakta, tetapi hanya karena kebencian saja. Bahkan sebagian besar tuduhannya itu justru berbasis informasi hoaks.
Kenapa? Karena harusnya tak mungkin kedua tuduhan itu diarahkan kepada seseorang secara bersamaan. Sebab, kedua ideologi itu berseberangan satu sama lain, persis seperti air dan minyak.
Baru di era Presiden Jokowi ini, pemerintah dituduh komunis sekaligus liberal. Ini aneh.
Prabowo Subianto, misalnya. Dia menuduh bahwa sistem ekonomi Indonesia yang saat ini menyimpang. Dia juga mengatakan kekayaan alam Indonesia banyak dikuasai asing. Hal ini lantaran karena kebijakan pemerintah sangat kapitalistik.
Padahal, kalau kita pelajari sejarah dengan baik, maka kita bisa menyoroti dua nama yang berperan besar dalam liberalisasi perekonomian Indonesia, yaitu Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, dan mantan mertua Prabowo yang juga Presiden RI ke-2, Soeharto.
Sumitro adalah menteri yang mengajukan UU PMA (penanaman modal asing) yang memberi ruang sebesar-besarnya bagi korporasi asing menguasai tambang dan sumber daya strategis di Indonesia. Sekaligus, tidak memberi ruang kepada koperasi untuk tumbuh.
Sedangkan, Soeharto jelas dia adalah pemimpin Orde Baru, dimana selama 32 tahu kepemimpinannya menjadi pondasi bagi liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Ketiganya adalah mantra dari paham neoliberalisme yang sangat kapitalistik.
Jadi, tuduhan Prabowo di atas salah alamat bila dituduhkan sekarang kepada Presiden Jokowi. jejak panjang kebijakan yang liberalistik di Indonesia telah dimulai oleh ayahnya, dan mertuanya.
Menjamurnya tuduhan tak jelas kepada pemerintah seperti di atas merupakan indikasi dari tak adanya partai oposisi yang kredibel. Tuduhan ngawur di atas terjadi karena partai oposisi gagal menawarkan kebijakan alternatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar