Banyak suara sumbang menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden lalu. Mereka umumnya mempersoalkan demokrasi yang mundur di era Jokowi, sembari lupa bahwa mereka masih masih bisa bersuara hingga saat ini.
Suara nyinyir itu, diantaranya datang dari LSM Kontras. Mereka menilai demokrasi era Presiden Joko Widodo mundur dan murung.
Salah satu tandanya, dia menyinggung kasus teror terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang tidak terungkap dan revisi terhadap UU KPK.
Tudingan seperti ini sebenarnya agak missleading (pelintiran) dan menghadirkan partial-truth (kebenaran sepotong). Pasalnya, pemerintah hingga saat ini masih terus berupaya mengungkap dan terus menagih perkembangan kasus tersebut kepada Kapolri.
Hal ini artinya Presiden Jokowi tidak tinggal diam terhadap kasus Novel Baswedan. Karenanya, tudingan bahwa pemerintah diam saja, harusnya perlu ditengok ulang.
Sementara itu, RUU KPK bukan untuk melemahkan, tetapi justru semakin memperkuat KPK. Masyarakat perlu mengkaji ulang agar tidak salah kaprah terkait produk hukum tersebut.
Kemudian, terkait kebijakan pelarangan demo menjelang pelantikan presiden ini bukan wujud pengekangan atas kebebasan berpendapat.
Melainkan kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah demi menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, serta menjaga harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia.
Maklum saja, ada 19 kepala negara dan utusan khusus dari negara sahabat yang turut menghadiri pelantikan Presiden tersebut. Sesuai protap keamanan yang ada, pengawalan dan pengamanan memang seharusnya seperti itu.
Hal ini agar tidak ada kecolongan dan kelalaian dalam mengamankan tamu negara.
KIta harusnya bisa melihat fakta dengan kritis dan obyektif. Tidak mudah menuding sesuatu, tanpa mengetahui fakta yang luas.
Pernyataan dari Kontras dan para social justice warior seperti di atas, sungguh menyesatkan publik, dan perlu diluruskan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar