Kamis, 24 Januari 2019

Kala Kriminal Dijadikan Kebangaan, Said Didu Bangga Bakar Sekolah hingga Korupsi

Ada kisah lucu mengenai tokoh oposisi yang kerap menyudutkan pemerintahan Presiden Joko Widodo ini. Namanya Said Didu, mantan sekretaris Kementerian BUMN. 


Alkisah, pembela Partai Gerindra itu dalam tweet pribadinya merasa bangga sudah pernah membakar sekolahnya saat kelas II SMP. Ia berlagak sok-sokan dan ingin terlihat keren. 


Padahal, tindakannya itu jelas tidak patut sama sekali. Apalagi untuk dibanggakan. 


Said Didu sepertinya tidak pernah berpikir bahwa pernyataannya itu sangat berbahaya dan berpotensi merusak akhlak generasi muda. Sebab bisa memberikan teladan yang buruk serta menggambarkan citra bahwa membakar sekolah adalah tindakan wajar dan heroik. 


Pernyataan Said Didu di atas bukanlah tanpa konteks. Ia mengeluarkan cerita lama itu untuk membela kader Gerindra yang terbukti memerintahkan pembakaran tujuh sekolah di Kalimantan Tengah. 


Perbuatan bakar sekolah sekali lagi adalah perbuatan kriminal dan laknat, yang tak bisa serta merta dimaafkan begitu saja. 


Sudah bukan rahasia lagi bahwasanya kelompok oposisi itu seperti terdiri dari barisan psikopat yang alam bawah sadarnya telah terkontaminasi racun kekerasan, kebencian dan tentu saja ngawur.


Sekadar diketahui, Said Didu pernah dilaporkan korupsi saat menjabat sebagai Sekretaris Meneg BUMN. Itulah bukti dari mental maling yang bisa merugikan negara.


Jadi, kalau seorang kriminal membenarkan kasus pembakaran sekolah hari ini dengan kisah lamanya, bukankah itu tindakan keji? Dan itu yang dilakukan Said Didu demi melindungi tuan-tuannya di Gerindra. 


Maklumi saja, mungkin saja dia sedang cari makan. Siapa tahu dia berbuat begitu karena keluarganya sedang lapar di rumah. Hingga berani menjilat-jilat seperti itu demi hidup.

Pemerintahan Presiden Jokowi Berhasil Kelola Utang dan Perekonomian Negara, Ini Buktinya

Selama ini, kritik terhadap pemerintah, terutama soal utang kerap dilakukan secara sepotong-sepotong. Akibatnya, masyarakat menerima komentar yang sepenggal sehingga mengakibatkan salah paham.


Padahal kalau diperhatikan dengan seksama pengelolaan utang sudah dijalankan dengan sangat baik. Sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, rasio utang terhadap PDB masih di bawah 30%


Angka itu bahkan jauh dari bawah batas yang ditetapkan undang-undang yang sebesar 60% PDB. Dengan begiru, rasio utang Indonesia masih lebih baik diantara negara-negara Asia Tenggara. 


Penjelasan ini sebagaimana diterangkan oleh Wakil Ketua KEIN, Arif Budimanta. Menurutnya, selama ini banyak pihak yang kerap menyudutkan pemerintah dengan kondisi utang negara membengkak. 


Ini adalah sebuah kesalahan bila disampaikan sepotong. Padahal, utang itu sudah dilakukan dengan mekanisme yang sesuai dengan aturan perundang-undangan. 


Perlu diketahui, ketika baru dilantik menjadi Presiden, Joko Widodo mendapatkan warisan defisit anggaran. Ia pun mencari siasat untuk menutupi defisit agar pembangunan tidak terhambat.


Pemerintah juga terus memperbaiki kondisi anggaran agar kondisi fiskal bisa lebih sehat dan berhasil mencapai angka defisit terendah sejak tahun 2012. 


Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi ini berhasil mengelola perekonomian dengan baik. Pencapaian ini pun harusnya diapresiasi karena membuat fundamental APBN Indonesia menjadi kuat.

Presiden Jokowi hadiri Acara Muslimat NU, Bukti Dekat dengan Ulama dan Umat Islam

Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) dalam waktu dekat ini akan menggelar acara Maulidurrasul dan Hari Lahir 73 Tahun Muslimat NU, serta Doa untuk Keselamatan Bangsa. 


Acara itu akan digelar di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan Jakarta Pusat pada Minggu 27 Januari 2019. Dan akan dihadiri oleh 100.000 Ibu-Ibu Muslimah NU. 


Sebagaimanna kabar yang beredar, Presiden Jokowi rencananya akan hadir dalam acara tersebut. Hal ini semakin menunjukkan bahwa Presiden Jokowi sangat peduli terhadap ulama dan umat Islam.


Pasalnya, di tengah-tengah kesibukannya mengurus sejumlah persoalan negara, Presiden Jokowi tetap rela menyisihkan waktunya untuk hadir dalam acara tersebut. 


Komitmen Presiden kepada perkembangan umat Islam memang tak bisa diragukan lagi. Sejak menjabat Walikota Solo, hingga menjadi Gubernur DKI Jakarta, Presiden Jokowi memang dekat dengan para ulama.  


Adanya undangan kepada Presiden dalam acara tersebut juga menunjukkan kedekatan istimewa antara umat Islam dan Presiden Jokowi. 


Sebab, Presiden Jokowi dinilai berhasil memimpin Indonesia dan memberikan manfaat bagi umat Islam. Ia pun sangat peduli terhadap kalangan santri, hingga meresmikan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.


Dengan rekam jejak seperti, masihkah kita menyebut Presiden Jokowi sebagai sosok anti-Islam dan benci ulama? Hal itu jelas merupakan informasi sesat serta fitnah yang keji.

Rabu, 23 Januari 2019

Sandiaga Uno Disebut Terlibat Korupsi Wisma Atlet


Nama Sandiaga Uno disebut dalam kasus korupsi Wisma Atlet yang melibatkan petinggi Demokrat. Cawapres nomor urut 02 itu adalah pemilik perusahaan yang tersangkut kasus korupsi itu. 


Keterangan itu disampaikan oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Ia menyebut PT Duta Graha Indah (DGI) merupakan milik mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno. 


Nazaruddin mengetahui informasi ini dari Direktur Utama PT DGI Dudung Purwadi yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi proyek Wisma Atlet dan Rumah Sakit Universitas Udayana.


KPK sendiri telah menetapkan PT. DGI sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pembangunan Wisma Atlet di Palembang. 


Sandiaga berlatar belakang pengusaha yang sangat dekat dengan korupsi dan keterkaitan Sandiaga dengan PT. DGI menunjukkan dia turut menerima fee proyek Wisma Atlet dan mengetahui korupsi tersebut.


Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu juga pengusaha yang licin dan suka bermain proyek. 


Sehingga Sandiaga tidak boleh diberikan kesempatan untuk menjadi pejabat negara karena negara bisa hancur ditangan orang-orang yang berperilaku korupsi.


Latar belakang seperti itu harusnya diketahui publik agar para pemilih dapat menentukan pilihannya secara rasional dan logis. Semoga yang terpilih pemimpin bukanlah para koruptor, atau mereka yang terlibat korupsi.

Pemarah, Prabowo Subianto Marahi Emak-Emak di Ponorogo

Sifat temperamental (pemarah) memang susah disembunyikan dari pribadi Prabowo Subianto. Ketua Umum Partai Gerindra itu diketahui beberapa kali marah di hadapan massyarakat. 


Hal itu terlihat saat Prabowo melakukan safari politik di Jawa Timur beberapa waktu lalu. Setelah menyambangi Magetan, Capres nomor urut 02 itu bertandang ke Ponorogo. 


Saat bicara di depan para pendukungnya itu, emosi Prabowo sempat naik melihat ada hadirin yang ribut berebut buku. Hal itu lantaran dirinya melihat emak-emak berebut buku yang dibagikan saat dirinya berpidato.


Sikap Prabowo di atas menunjukan watak aslinya. Ia memang seorang pemarah sejak masa muda dulu. Hal ini sebagaimana pendapat Inas Nasrulah, Ketua DPP Partai Hanura.


Karakter di atas menunjukkan bahwa tegas itu tidak sama dengan emosional. Tegas itu selalu diimbangi oleh sifat kasih sayang dan rendah hati. 


Hal itu tidak terlihat pada diri Prabowo. Selama ini kita hanya melihat Prabowo sebagai seorang yang suka marah, emosional, juga tak rendah hati.


Kejadian di Ponorogo itu menunjukkan jelas siapa itu diri Prabowo yang sebenarnya. Ia tanpa ragu memarahi kaum perempuan. 


Kejadian tersebut mengonfirmasi attitude Prabowo sebagai seorang yang grasa­-grusu dan emosional.


Kita harusnya memilih pemimpin yang cakap dan memiliki jiwa yang matang. Secara rasional dan logis, kita baiknya memilih juga pemimpin yang berpengalaman.

Pemerintah Pastikan Ikrar Pancasila Syarat Mutlak untuk Abu Bakar Ba'asyir

Beberapa hari ini, wacana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir sempat santer di publik. Bahkan ada yang menyebut pembebasanya hanya tinggal menghitung hari saja.


Pemerintah pada dasarnya memang memiliki keinginan untuk membebaskan mantan napi terorisme tersebut. Alasannya karena dari sisi kemanusiaan, dimana Abu Bakar sudah sepuh dan sakit-sakitan. 


Namun sayangnya, justru terganjal dengan sikap dari Abu Bakar sendiri. Ia dikabarkan kukuh menolak menandatangani ikrar setia kepada Pancasila sebagai syaratnya. 


Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir harus memenuhi sejumlah persyaratan sebelum dibebaskan dari penjara Gunung Sindur Bogor, Jawa Barat. Di antaranya syarat menandatangani ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila itu.


Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 84 huruf d ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 3 Tahun 2018, yang menyebutkan, “Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi narapidana warga negara Indonesia.” Syarat di atas tidak boleh dinegosiasikan.


Meski rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir masih dilakukan kajian mendalam oleh Kemenko Polhukam, Moeldoko memastikan fasilitas kesehatan yang diberikan kepada pengasuh Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah itu tak dikurangi.


Perlu diperhatikan, pembebasan Abu Bakar Ba'asyir ini tak ada kaitannya dengan elektabilitas Pemilu. Alasan pembebasan itu murni karena sisi kemanusiaan, dan pendiri MMI itu sudah menjalani 2/3 masa hukumannya. 


Pembahasannya pun sudah lama dilakukan, setidaknya sejak awal tahun 2018. Waktu itu jauh sebelum gembar-gembor Pilpres 2019. 


Kita dukung pembebasan itu karena alasan kemanusiaan, tetapi kita tetap tidak bersepakat bila Abu Bakar Baasyir dibebaskan tanpa menandatangani ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila. 


Sepakat dengan Moeldoko di atas, sumpah dan ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila adalah syarat mutlak. Bila tak mau, maka memang dirinya tak bersedia untuk dibebaskan. Bola ada pada dirinya.

Minggu, 20 Januari 2019

Tak Terima Direndahkan, Ribuan Petani di Klaten Kecam Prabowo dan Dukung Jokowi-Ma'ruf

Prabowo Subianto kembali didemo oleh ribuan warga. Setelah dulu diprotes oleh masyarakat Boyolali, kini Prabowo dikecam keras oleh masyarakat Klaten. 


Penyebabnya hampir mirip. Calon Presiden nomor urut 02 itu mengeluarkan pernyataan yang kontroversial, 'ngawur' tanpa data, dan menyudutkan masyarakat. 


Lantarannya, beberapa waktu lalu, Prabowo menyebut petani beras di Klaten bersedih karena beberapa bulan lalu banjir beras dari luar negeri. Hal itu disampaikannya pada pidato kebangsaan yang digelar di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Senin (14/1).


Mendengar suara sumbang dari Prabowo, petani Klaten tidak terima. Mereka tak merasa sebagaimana disebut oleh mantan menantu Soeharto itu. 


Sebagai wujud protes, sebanyak 3.000 petani melakukan long march dengan tema “Gerakan Petani Klaten Bermartabat” untuk menyikapi pernyataan ngawur Prabowo. itu.  Petani itu menggelar aksi jalan kaki serta orasi di Jl. Pemuda, Klaten, Minggu (20/1/2019) pagi.


Para petani di Klaten menegaskan bahwa pernyataan Prabowo tidak benar dan tidak sesuai fakta serta data.  Ini masuk rentetan kabar bohong atau hoax yang disebarkan Prabowo.


Oleh karenanya, mereka meminta Prabowo segera meminta maaf karena merasa jerih payahnya diremehkan. Sebab tidak ada petani Klaten yang menangis dan tidak ada beras impor beredar di wilayah tersebut.


Para petani itu juga menjelaskan bahwa Kabupaten Klaten tidak kekuarangan beras, bahkan mengalami kelimpahan stok. Dengan demikian, apa yang disampaikan oleh Prabowo itu merupakan sebuah pembohongan publik yang membodohi rakyat.


Oleh karena itu, para petani menyerukan kepada Prabowo untuk tidak merendahkan petani di Klaten. Apalagi mereka sudah berjerih payah untuk mewujudkan swasembada pangan di Kab. Klaten bahkan mencukup kebutuhan di wilayah lain.


Kelakuan Prabowo itu akhirnya mendorong para petani semakin tegas dalam sikap politil. Lantaran kasus tersebut, sekarang ribuan petani di Klaten telah memutuskan untuk mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019. 


Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 itu dinilai lebih pro kepada Petani, dan memiliki sikap yang santun serta tidak grusa-grusu.

Prabowo Salah Data? Bukan! Itu Strateginya

Dalam debat capres-cawapres yang digelar pada Kamis malam (17/1), Prabowo Subianto beberapa kali menyampaikan data yang salah. Hal ini bukanlah sesuatu yang kebetulan, melainkan memang bagian dari strateginya.


Pandangan ini seperti yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo. Menurutnya, kesalahan penyampaian data yang dilakukan oleh Prabowo itu merupakan bagian usahanya memenangkan kontestasi politik.


Itu terlihat dari kesalahannya yang berulang-ulang sehingga teraplikasi dan terpola. Dari pola itu dapat disimpulkan bahwa salah data ini strategi untuk melakukan disinformasi terhadap data dan fakta. 


Dalam debat tersebut, kesalahan Prabowo, misalnya, soal klaim gaji gubernur Jawa Tengah kecil meski menangani daerah yang lebih besar dari Malaysia.


Selain itu, Prabowo menyebut rasio pajak (tax ratio) Indonesia hanya 10 persen dan ia ingin meningkatkannya ke angka ke 16 persen. Padahal kenyataannya rasio pajak pada 2018 mencapai 11,5 persen.


Sebelumnya Prabowo juga sering menyampaikan kesalahan data. Seperti, soal selang cuci darah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang dipakai lebih dari empat puluh pasien yang berbeda.


Seluruh kesalahan data itu akan berbahaya bila dilakukan terus menerus. Karena akan menimbulkan kebingungan di masyarakat, menimbulkan ketidakpercayaan terhadap informasi, serta yang terpenting pengabaian pada data dan fakta. 


Kebingungan publik ini akan berujung pada goyangnya rasionalitas publik. Publik tidak percaya data, dan lebih mengandalkan kepercayaan semu.


Hal ini bakal merugikan Jokowi-Ma'ruf sebagai lawan Prabowo. Pasalnya pemilih nantinya akan tidak percaya terhadap data dan fakta rasional,  seperti pencapaian kinerja petahana.


Alhasil lambat laun preferensi pilihan pemilih bergerak dari rasional ke irasional. 


Inilah yang menjadi tujuan besar dari kacau balaunya penyampaian data oleh Prabowo. Kesalahan itu bukan karena bodoh, tetapi karena disengaja untuk mengelabui publik. 


Strategi ini yang dinamakan oleh firehorse of falsehood. Kita harus waspada dan kritis agar tidak dibodohi oleh cara berpolitik yang jahat ini.

Sabtu, 19 Januari 2019

Samakan Diri dengan Soekarno-Hatta, Prabowo-Sandi Idap Megalomaniak Akut

Menjelang Pemilu seperti ini, banyak pihak yang halusinasi dan megalomaniak. Kaum seperti ini melihat dirinya besar, seolah seperti tokoh pendiri bangsa. 


Ia mengklaim diri sebagai penerus pendiri bangsa, atau bahkan mengaku sebagai titisan mereka. Padahal, kita tahu kenyataan sebenarnya kualitas mereka tidak seperti itu. 


Seperti itulah gambaran kubu Prabowo-Sandi hari-hari ini. Menurut timsesnya, kekompakan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam debat perdana itu  layaknya kekompakan Soekarno-Hatta.


Mereka juga menyebut bahwa Prabowo-Sandi ini adalah dwitunggal, titisan presiden dan wakil presiden pertama Indonesia. Imajinasi berlebihan seperti inilah yang menjadikan Prabowo-Sandi masuk kategori megalomaniak. 


Kita tahu, Bung Karno, Bung Hatta, dan Jenderal Soedirman adalah tokoh besar Indonesia yang dibesarkan oleh ide-ide autentik dan pertarungan ideologi ataupun fisik. Para pendiri bangsa yang bertindak sebagai pejuang pemikir sekaligus pemikir pejuang hingga menginspirasi Indonesia hingga saat ini.


Usaha dari timses kandidat nomor urut 02 itu untuk mencocokkan capres-cawapresnya seolah seperti Bung Karno-Jenderal Soedirman dan Bung Hatta adalah pelecehan terhadap sejarah. 


Upaya mereka ini adalah wujud kegagalan bernalar yang parah, klaim palsu yang tak punya dasar etis dan historis.


Bung Karno, Bung Hatta, dan Soedirman adalah nasionalis yang direkam dalam setiap langkah perjuangan. Sementara Prabowo dan Sandiaga adalah sebenar-benarnya kapitalis yang mencoba bersalin wajah menjadi politisi pro-rakyat kecil.


Pasangan Prabowo-Sandiaga gagal menemukan otentisitas diri, baik rekam jejak maupun visi untuk rakyat Indonesia.


Kegagalan itu bahkan sempat membuat anak-keturunan tokoh pendiri bangsa itu merasa gerah. Gustika Fardani Jusuf, cucu Bung Hatta, merasa berang saat mengetahui sang kakek disamakan dengan sosok Sandiaga.


Sebab, secara ideologi dan langkah perjuangan keduanya seperti minyak dan air. Bila Bung Hatta pejuang koperasi dan ekonomi kerakyatan, sedangkan Sandiaga murni tokoh kapitalis, yang mendukung ekspansi korporasi dalam langgam kompetisi pasar bebas. 


Menurut Gustika, sangat tidak baik menggunakan sosok sang proklamator, Bung Karno dan Bung Hatta untuk menggambarkan sosok seseorang. Apalagi kalau demi kepentingan politik. 


Oleh karenya, sebaiknya setiap orang agar tetap berpegangan pada identitas aslinya masing-masing. Tak perlu megalomaniak merasa dirinya seperti tokoh terdahulu, ataupun merasa titisannya.


Bukan membuat kagum, tapi sebaliknya, malah justru lucu.


Pro 'Wong Cilik', Pemerintahan Jokowi Berhasil Bangun dan Revitalisasi Ribuan Pasar Tradisional dalam 4 Tahun


Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah memberikan perhatian khusus terhadap pasar tradisional. Dalam empat tahun terakhir, ribuan pasar telah dibangun dan direvitalisasi oleh pemerintah.


Tercatat hingga akhir 2017 lalu saja, pemerintahan Presiden Jokowi telah membangun 2.660 pasar di seluruh tanah air. Kemudian kebijakan itu lanjut di tahun 2018 dengan membangun sekitar 1.500-an dan 6.500 pasar di desa yang membawa manfaat bagi ekonomi di pedesaaan.


Tak hanya membangun, Jokowi juga berusaha mendorong pedagang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Presiden Jokowi telah menginstruksikan Menkominfo RI, Rudiantara untuk membantu menyiapkan alat pembayaran noncash di pasar-pasar tradisional. 


Hal ini ditujukan agar pasar tradisional bisa naik kelas dan bersaing dengan pasar modern. Kesan pasar rakyat selalu kotor, becek, dan kuno harus ditinggalkan. Harus mau berubah mengikuti zaman.


Melalui cara itu, Presiden Jokowi mendorong pasar tradisional untuk melakukan digitalisasi dan tersambung dengan ekosistem jual beli online agar bisa bersaing dan tidak ditinggalkan oleh pembelinya meskipun secara harga, pasar tradisional lebih murah.


Kebijakan yang bernafas kerakyatan ini sudah dilakukan Jokowi sejak menjabat Walikota Solo dulu. Kemudian, tetap dibawa seiring dengan naiknya karier politik Jokowi  


Ketika menjabat sebagai Walikota Solo dulu, Jokowi berhasil membangun 29 pasar selama 8 tahun kerja. Hal ini agar pasar di Solo bersih, tidak bau dan lebih layak. Dan manfaat itu dirasakan oleh stakeholder di sana hingga sekarang.


Apa yang dikerjakan Jokowi itu yang dibutuhkan rakyat. Hal seperti ini harusnya dipertahankan, bahkan dilanjutkan. Jokowi satu periode lagi adalah hal yang patut dan layak untuk diperjuangkan.

Rabu, 16 Januari 2019

Prestasi Nyata, Dukungan Mantan Pendukung Gerindra Hadir untuk Jokowi






Suara dukungan kepada Presiden Joko Widodo tak hanya datang dari partai pendukungnya saja, tetapi juga hadir dari mantan pendukung Partai Gerindra.

Para eks-kader Gerindra yang tinggal di Amerika Serikat itu telah mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin untuk Pilpres 2019.

Diantara mereka adalah Henry Tobing, Leonard Siregar, Franky Taroteh dan Anita Tobing. Mereka sepakat berpihak ke Jokowi karena prestasi dan keberhasilannya memimpin Indonesia selama ini.

Pemerintahan Presiden Jokowi, bagi mereka, sudah memenuhi amanat konstitusi dan reformasi. Yakni, mendukung agenda pemerataan pembangunan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Itu diwujudkan dengan membangun Indonesia dari pinggiran, misalnya Papua, membangun infrastruktur, membangun sarana  pendidikan dan kesehatan, serta jaminan sosial yang menyeluruh.

Alhasil, kemiskinan turun, pengangguran turun, inflasi terjaga, dan pemerataan pembangunan semakin baik, serta ketimpangan sosial bisa turun.

Jokowi juga berkomitmen penuh pada agenda kebangsaan, merawat toleransi dan kebhinekaan yang menjadi kekuatan utama bangsa Indonesia.

Dengan kerja-kerja yang bermanfaat bagi rakyat itu, para eks-pendukung Gerindra berharap Jokowi bisa terpilih sekali lagi.

Untuk itu, mereka berpesan kepada masyarakat Indonesia untuk tidak ragu lagi mendukung Jokowi.

Para pendukung Gerindra saja mau beralih karena melihat prestasi Jokowi, apalagi masyarakat biasa.

Kita harus pastikan Jokowi-Ma'ruf benar-benar menjadi pilihan rakyat Indonesia, agar kemajuan dan pembangunan seperti di atas bisa dilanjutkan lagi.

Jokowi sekali lagi.


Ketika Prabowo Mengakui Prestasi Jokowi, Lanjutkan!



Prabowo Subianto mengakui adanya prestasi dan keberhasilan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam empat tahun ini.

Hal ini disampaikannya saat pidato kebangsaan yang digelar di Plenarry Hall JCC Senayan, Jakarta Pusat, Senin (14/1).

Dalam pidato itu, Prabowo juga memuji bahwa masih banyak manfaat yang diberikan oleh pemerintahan Presiden Jokowi dan diakui oleh rakyat. Itu yang harusnya diakui oleh seluruh rakyat Indonesia.

Prabowo juga ingin para pendukungnya mengakui itu, dan tidak menampik kebaikan dan kemajuan yang sudah ditorehkan pemerintahan Presiden Jokowi.

Mantan Danjen Kopassus itu berkomitmen untuk melanjutkan keberhasilan pemerintahan Presiden Jokowi bila berhasil terpilih menjadi Presiden RI nanti.

Nah, bila Prabowo Subianto yang menjadi lawan Jokowi dan tokoh oposisi paling wahid sudah mengakui prestasi pemerintah, lantas mengapa kita masih menampiknya?

Kita seharusnya mengapresiasi segala kemajuan dan keberhasilan yang dikerjakan pemerintah. Bila ada yang kurang, kita kritik dan beri masukan.

Tetapi tentunya dengan kritikan yang bernas dan substantif, bukan berisi fitnah, informasi hoax ataupun narasi kebencian. Itu baru ksatria.

Mari akui prestasi dan keberhasilan Jokowi, dan berharap itu dilanjutkan lagi. Tentunya, dengan Jokowi Sekali Lagi


Tak Menarik Publik, Pidato Prabowo yang Sarat Ilusi dan Retorika Teleprompter



Beberapa hari ini, masyarakat banyak membicarakan pidato kebangsaan yang dilakukan oleh Prabowo Subianto. Capres nomor urut 02 itu menampilkan gagasan dan visi-misinya dalam pidato tersebut.

Selain itu, Prabowo secara umum juga banyak menyindir kekurangan pemerintahan Jokowi, menafikan kemajuan, dan lebih terkesan pesimis dengan masa depan Indonesia.

Pidato itu dikritik banyak pihak. Karena substansi pidato visi-misi itu sarat dengan ilusi dan retorika. Selain itu, Prabowo juga menggunakan teleprompter untuk pidato.

Hal ini menunjukkan bahwa dirinya telah melanggar aturan kampanye dan sesuai dengan wataknya yang pesimis tapi suka menyerang orang lain.

Taktik pidato yang menihilkan prestasi Presiden Jokowi itu sebenarnya tak begitu menguntungkan bagi Prabowo. Sebab, masyarakat tak terpengaruh dengan omongannya.

Masyarakat telah merasakan sentuhan kemajuan yang dikerjakan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Masyarakat juga tidak begitu respek dengan cara pidato yang menyerang, provokatif dan penuh pesimisme seperti itu.

Saat ini, pasangan Prabowo-Sandi memang gencar memainkan retorika melawan berbagai bentuk keadilan. Namun mereka lupa bahwa berbicara dan menyentuh rakyat adalah dengan hati, bahasa kepedulian melalui kepemimpinan yang merakyat, bukan sebaliknya.

Sebab rakyat Indonesia itu pada dasarnya selalu memiliki niat baik dan pemikiran positif. Strategi menyerang dan provokatif ala Prabowo justru menjadi arus balik bagi dirinya.

Itu yang tak disadari Prabowo.


Selasa, 15 Januari 2019

Pidato Prabowo, Antara Pesimistis dan Menihilkan Kemajuan Indonesia



Pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menyampaikan pidato kebangsaan di Plenary Hall JCC Senayan, Jakarta Pusat, Senin (14/1).

Dalam pidato tersebut, keduanya memaparkan visi-misi koalisinya dan mengkritik beberapa kebijakan pemerintah, dari ekonomi hingga sikap aparat negara.

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengkritik pidato 'Indonesia Menang' capres Prabowo Subianto. Hasto menilai pidato Prabowo itu bernada pesimistis dan mencerminkan kegagalan diri eks Danjen Kopassus itu sendiri.

Prabowo juga terbukti secara sengaja menegasikan kesuksesan Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Jokowi. Juga sama sekali tak ada pandangan yang maju dan optimis dalam pidatonya itu.

Diakui atau tidak, Indonesia sekarang lebih maju. Terlihat dari kesuksesan Asian Games, Asian Para Games, dan kemajuan pembangunannya, serta kehadiran nilai kemanusiaan dalam kebijakan sosial.

Dengan begitu, pidato Prabowo tak lain hanyalah retorika bernada pesimistis, penuh ilusi dan disampaikan melalui teleprompter.

Meski demikian, kita sangat yakin bahwa pidato Prabowo itu tak akan mengubah elektabilitasnya, maupun menurunkan simpati masyarakat pada Jokowi.

Sebab rakyat sekarang sudah cerdas dan logis. Mereka telah merasakan sentuhan kebaikan dari Jokowi.

Selain itu, rakyat juga mulai jengah dengan strategi serangan yang berisi fitnah, pesimisme dan provokatif dari Prabowo itu.

Yg pasti, apa yang disampaikan oleh Prabowo dalam pidatonya itu adalah cerminan wataknya. Ia menihilkan prestasi orang lain, tetapi tak mampu menutupi kegagalannya sendiri. Sifat ini lebih dekat ke pengecut, dibandingkan kstaria.


Capaian Positif Pemerintahan Presiden Jokowi sepanjang 2018



Diakui atau tidak, banyak kemajuan yang sudah ditorehkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam empat tahun ini. Salah satunya soal turunnya angka pengangguran.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Hanif Dhakiri menyebut bahwa angka pengangguran di Indonesia turun drastis selama era Presiden Jokowi. Yakni dari 6,1% turun menjadi 5,3%.

Turunnya angka pengangguran itu salah satunya karena adanya pembukaan lapangan pekerjaan. Setidaknya selama 4 tahun ini, ada 10 juta lapangan pekerjaan yang sudah dibuka oleh pemerintah.

Hal ini berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Penurunan angka kemiskinan dari 11,2% pada Maret 2014 menjadi 9,82% pada Maret 2018. Hal ini menjadi sejarah, karena angka kemiskinan turun single digit.

Menariknya, angka kemiskinan itu turun kembali pada September 2018, menjadi 9,66%. Dengan begitu ada penurunan 280.000 orang miskin selama 6 bulan.

Selain itu terdapat kenaikan garis kemiskinan dari 401.220 menjadi 410.670 per kapita. Juga ada stabilnya inflasi yang hanya 0,94% selama Maret-September 2018.

Hanif memaparkan keberhasilan lainnya seperti angka ketimpangan sosial pun menurun yang diukur menggunakan indeks gini ratio 0,41 menjadi 0,39.

Angka pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan sosial menjadi tantangan seperti periode pemerintahan. Dan itu berhasil diperbaiki.


Prabowo, Permasalahan TKI, dan Hoax tentang Pembebasan TKI Wilfrida



Informasi bohong (hoax) seolah memang melekat dalam pribadi Prabowo Subianto. Rekam jejaknya telah membuktikan itu.

Seperti misalnya, beberapa tahun lalu, Ketua Umum Partai Gerindra itu pernah mengklaim bahwa dirinya berjasa dalam membebaskan Wilfrida Soik.  Dia adalah TKI yang pernah terancam hukuman mati di negeri jiran Malaysia.

Padahal, pengakuan Prabowo itu tidak benar sama sekali. Klaim sepihak itu juga telah dibantah oleh Migrant Care, organisasi yang fokus pada advokasi buruh migran.

Migrant Care menyesalkan adanya klaim secara sepihak bahwa pembebasan tersebut merupakan buah karya Prabowo. Karena faktanya advokasi oleh Migrant Care itu sudah dimulai pada Desember 2010, saat Wilfrida ditangkap polisi di Kelantan Malaysia. Dan, dari awal tak pernah ada peran Prabowo.

Upaya pembebasan terhadap Wilfrida dimulai ketika DPR RI menggelar jumpa pers, yang difasilitasi oleh anggota Fraksi PDIP, Rieke Dyah Pitaloka dan Anggota DPD perwakilan NTT yaitu Lerry Mboik.

Dukungan tersebut kemudian berlanjut ketika Ketua DPR RI kala itu, Pramono Anung, menulis surat ke Pemerintah Malaysia sebagai tindak lanjut dari petisi masyarakat untuk pembebasan Wilfrida pada bulan September 2013.

Pemberitaan mengenai Wilfrida kemudian melejit tajam. Ketika sudah ramai, pihak Prabowo masuk dengan kontribusi menambah 1 pengacara ke dalam tim hukum yang sudah disediakan KBRI Malaysia.

Migrant Care saat itu telah memprotes upaya Prabowo menjadikan Wilfrida sebagai alat kampanye pencapresan. Hingga rencana itu dijadikan kompensasi visi misi Prabowo yang miskin dari isu perlindungan buruh migran.

Bila dibandingkan dengan Prabowo, agenda perlindungan buruh migran yang dtawarkan Jokowi lebih komprehesif dan realistis.

Pihak Jokowi melihat fenomena migrasi sebagai sebuah realitas yang harus dijawab dengan kebijakan yang spesifik mengenai tata kelola migrasi. Serta diikuti dengan adanya dukungan politik luar negeri yang berorientasi pada perlindungan warga negara.

Sedangkan pihak Prabowo hanya melihat fenomena itu dalam analisi klasik 'pull and push factor' kemiskinan.  Alhasil, solusinya lebih pada pendekatan makro ekonomi.

Kita bisa menilai kualitas pemimpin dari gagasanya. Bila itu bernas dan substantif, maka layak untuk dipilih. Namun, bila hanya koar-koar tanpa logika, maka sebaiknya diabaikan saja.

Nah untuk Prabowo dengan segala hoax-nya, maka dia layak untuk diabaikan saja. Sebab selain menyebarkan kebohongan, Prabowo juga tak memiliki gagasan yang bernas dan masuk akal.


Sabtu, 12 Januari 2019

Orde Baru Ingin Bangkit via Prabowo, Pengalaman Buruk AH. Nasution Ini Jangan Terulang Kembali



Orde Baru adalah rezim kekuasaan yang tak hanya korup, tetapi juga kejam. Ia merangkul mereka yang dianggap kawan, tetapi menendang keluar mereka yang dianggap lawan. Bahkan dengan cara yang tak berperikemanusiaan.

Hal itu pernah dialami oleh mantan Panglima ABRI, Jenderal AH. Nasution. Sebelum naik ke tampuk kekuasaan, dirinya adalah yang membuka peluang dan mendorong Soeharto menjadi Presiden RI.

Tetapi setelah Soeharto berada di tampuk kekuasaan, Nasution adalah sosok yang begitu dibenci. Sebabnya tentu saja terlalu kritis sehingga dianggap mengancam kekuasaan Soeharto.

Keretakan keduanya makin menjadi saat Nasution ikut terlibat dalam Petisi 50. Petisi 50 adalah sebuah pernyataan keprihatinan yang ditandatangani sejumlah tokoh untuk mengkritisi semakin otoriternya Soeharto sebagai pemimpin republik.

AH Nasution akhirnya menjadi sosok yang dibenci dan dijauhi Orde Baru, sehingga hak politik dan suaranya dikebiri habis-habisan oleh penguasa.

Bahkan, AH Nasution pernah diperlakukan buruk saat melayat Adam Malik dengan digiring keluar oleh Prabowo Subianto dan Kivlan Zein. Padahal, dirinya saat itu sedang melakukan shalat mayat untuk temannya itu.

Pasokan air ledeng ke rumah Nasution pun diputus sehingga ia harus membuat sumur sendiri, selain itu media massa tidak diperbolehkan memuat wawancara dan tulisan Nasution. Bahkan di Mesjid Cut Meutia yang ia bangun, setiap salat Jumat, tentara selalu mengintai dalam posisi siap tembak agar Nasution tak naik mimbar.

Cuma itu? Tidak, Nasution juga tidak diperbolehkan memenuhi undangan keluarga pahlawan revolusi yang hendak mengadakan hajatan, walau rumah mereka tidak seberapa jauh dari rumah Nasution.

AH Nasution tidak boleh muncul dalam acara kenegaraan dimana ada Soeharto. AH. Nasution pun akhirnya disingkirkan oleh Soeharto melalui tangan Prabowo dengan operasi diam-diam.

Perlakuan Soeharto kepada AH. Nasution adalah cara berpolitik Orde Baru, yang melibatkan orang seperti Prabowo Subianto untuk mengamankan kekuasaan. Mereka otoriter dan tak mau demokrasi ditegakkan.

Kini, Prabowo hadir dalam pentas politik tanah air untuk mengembalikan tatanan Orde Baru itu kembali. Ia ingin membangun kekuasaan yang berpusat pada dirinya, dengan membungkam demokrasi dan korup.

Lantas mau kah kita mengikuti ambisi politiknya tersebut? Tentu saja tidak. Biarlah pengalaman AH. Nasution cukup sekali saja terjadi. Berikutnya negara dengan tatanan demokrasi, yang adil dan sejahtera adalah cita-cita kita bersama


Orde Baru Ingin Bangkit via Prabowo, Pengalaman Buruk AH. Nasution Ini Jangan Terulang Kembali



Orde Baru adalah rezim kekuasaan yang tak hanya korup, tetapi juga kejam. Ia merangkul mereka yang dianggap kawan, tetapi menendang keluar mereka yang dianggap lawan. Bahkan dengan cara yang tak berperikemanusiaan.

Hal itu pernah dialami oleh mantan Panglima ABRI, Jenderal AH. Nasution. Sebelum naik ke tampuk kekuasaan, dirinya adalah yang membuka peluang dan mendorong Soeharto menjadi Presiden RI.

Tetapi setelah Soeharto berada di tampuk kekuasaan, Nasution adalah sosok yang begitu dibenci. Sebabnya tentu saja terlalu kritis sehingga dianggap mengancam kekuasaan Soeharto.

Keretakan keduanya makin menjadi saat Nasution ikut terlibat dalam Petisi 50. Petisi 50 adalah sebuah pernyataan keprihatinan yang ditandatangani sejumlah tokoh untuk mengkritisi semakin otoriternya Soeharto sebagai pemimpin republik.

AH Nasution akhirnya menjadi sosok yang dibenci dan dijauhi Orde Baru, sehingga hak politik dan suaranya dikebiri habis-habisan oleh penguasa.

Bahkan, AH Nasution pernah diperlakukan buruk saat melayat Adam Malik dengan digiring keluar oleh Prabowo Subianto dan Kivlan Zein. Padahal, dirinya saat itu sedang melakukan shalat mayat untuk temannya itu.

Pasokan air ledeng ke rumah Nasution pun diputus sehingga ia harus membuat sumur sendiri, selain itu media massa tidak diperbolehkan memuat wawancara dan tulisan Nasution. Bahkan di Mesjid Cut Meutia yang ia bangun, setiap salat Jumat, tentara selalu mengintai dalam posisi siap tembak agar Nasution tak naik mimbar.

Cuma itu? Tidak, Nasution juga tidak diperbolehkan memenuhi undangan keluarga pahlawan revolusi yang hendak mengadakan hajatan, walau rumah mereka tidak seberapa jauh dari rumah Nasution.

AH Nasution tidak boleh muncul dalam acara kenegaraan dimana ada Soeharto. AH. Nasution pun akhirnya disingkirkan oleh Soeharto melalui tangan Prabowo dengan operasi diam-diam.

Perlakuan Soeharto kepada AH. Nasution adalah cara berpolitik Orde Baru, yang melibatkan orang seperti Prabowo Subianto untuk mengamankan kekuasaan. Mereka otoriter dan tak mau demokrasi ditegakkan.

Kini, Prabowo hadir dalam pentas politik tanah air untuk mengembalikan tatanan Orde Baru itu kembali. Ia ingin membangun kekuasaan yang berpusat pada dirinya, dengan membungkam demokrasi dan korup.

Lantas mau kah kita mengikuti ambisi politiknya tersebut? Tentu saja tidak. Biarlah pengalaman AH. Nasution cukup sekali saja terjadi. Berikutnya negara dengan tatanan demokrasi, yang adil dan sejahtera adalah cita-cita kita bersama.


Awas Potensi Kampanye dalam Tablig Akbar, Bawaslu Akan Pantau Ketat


Beberapa bulan mendekati Pemilihan Presiden 2019 manuver politik yang melibatkan massa secara luas semakin sering terjadi. Kadang mobilisasi massa itu ditutupi dengan dalih agama.

Tentu saja, hal ini tak dibenarkan. Baik oleh aturan negara maupun etika dalam beragama. Agama harusnya dipisahkan dari kepentingan politik.

Persaudaraan Alumni 212 Solo Raya akan menggelar acara 'Tablig Akbar PA 212 Solo Raya' di Bundaran Gladag, Jalan Slamet Riyadi, Minggu (13/1) pagi. Direncanakan lebih dari 100 ribu orang akan hadir dalam acara tersebut.

Menanggapi itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jateng Fajar Subkhi Abdul Kadir Arif memperingatkan agar acara tabligh akbar Alumni 212 di Solo tidak dijadikan sebagai ajang kampanye.

Berdasarkan izin yang diajukan, kegiatan tersebut merupakan sosial kemasyarakatan. Apalagi memakai atribut agama, maka jangan sampai dijadikan ajang kampanye Pilpres.

Bawaslu sendiri tetap menghormati dan menghargai siapa pun yang hendak menyampaikan pendapat di muka umum. Namun tetap mewanti jika diadakan dalam rangka kampanye maka ketentuan tentang kampanye wajib dipatuhi.

Koordinator Divisi Hukum, Data dan Informasi Bawaslu Kota Surakarta, Agus Sulistyo, menyatakan bahwa pihaknya berharap dalam acara tersebut penyelenggara bisa mematuhi peraturan yang berlaku, diantaranya tidak memasang atribut kampanye.

Bawaslu akan melakukan pemantauan berlapis untuk acara tersebut. Melihat sejauhmana acara berlangsung dan diharapkan semua mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan dengan tidak menggelar aturan kampanye.

Bila dilihat dari unsur-unsurnya, sangat dimungkinkan bila rangkaian Tablig Akbar itu akan disusupi dengan orasi politik mendukung salah satu Paslon. Seperti diketahui bahwa Gerakan 212 memiliki preferensi ke kubu Paslon 02.

Untuk itu seyogianya masyarakat tidak terprovokasi untuk turut serta melanggar peraturan. Kampanye dalam kegiatan keagamaan adalah pelanggaran aturan Pemilu, juga tidak menghormati kesucian agama.

Kita harus jaga diri dan keluarga kita dari kegiatan seperti itu. Semoga Indonesia damai, aman dan sejahtera dari rongrongan kelompok yang mempolitisasi agama untuk ambisi politiknya sendiri.


Elektabilitas Jokowi-Ma'ruf Lebih Unggul Berdasarkan Survei Alvara


Tiga bulan menjelang pemilihan presiden, tren elektabilitas pasangan capres-cawapres Joko Widodo dan Ma’ruf Amin masih mengungguli Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Hal ini berdasarkan survei lembaga Alvara Research Center, yang digelar pada 11-24 Desember 2018. Hasilnya, elektabilitas Jokowi-Ma’ruf 54,3 persen, sedangkan Prabowo-Sandi 35,1 persen.

Riset ini menggunakan multistage random sampling dengan wawancara terhadap 1.200 responden yang berusia 17 tahun ke atas. Sampel diambil dari seluruh provinsi di Indonesia. Margin of error sebesar 2,88 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Elektabilitas Jokowi-Ma'ruf dalam survei Alvara kali ini mengalami kenaikan. Elektabilitas Jokowi-Ma'ruf pada periode Oktober 2018 berada di angka 54,1%, yang artinya mengalami kenaikan 0,2% pada periode Desember menjadi 54,3%.

Dari hasil survei Alvara Research Center ini, Jokowi-Ma'ruf unggul di semua status sosial ekonomi, baik di kelas menengah maupun menengah ke bawah.

Selain itu, kecenderungannya pemilih sudah makin mengkristal dalam menentukan pilihannya. Hal ini juga terlihat dari semakin tingginya pemilih yang tidak mengubah pilihan.

Meskipun demikian, angka survei itu masih bersifat prediksi. Tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf harus bekerja lebih keras lagi agar keunggulan di atas kertas itu bisa terealisasi di lapangan.

Kerja-kerja sosialisasi dan pendekatan pemilih melalui jalur 'darat' dan 'udara' harus tetap masif. Agar keinginan Jokowi 2 Periode bisa menjadi kenyataan.


Jumat, 11 Januari 2019

Obor Rakyat Akan Terbit Kembali, Awas Potensi Fitnah dan Hoaks Lagi



Pemimpin Redaksi Tabloid Obor Rakyat dikabarkan telah bebas awal tahun ini. Tabloid yang sempat menggegerkan publik ini pernah menjadi corong fitnah dan informasi hoaks pada Pemilu 2014 lalu.

Masalahnya, Tabloid Obor Rakyat itu berencana akan mendaftarkan diri menjadi badan hukum. Diduga kuat tabloid itu akan menjadi corong fitnah dan hoaks lagi bagi pasangan Prabowo-Sandi lagi.

Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Hasto Kristiyanto, menyatakan pihaknya akan kembali menyeret Obor Rakyat ke ranah hukum, apabila lagi-lagi mengabarkan berita fitnah bagi Jokowi dan juga Ma'ruf Amin.

Hasto menyatakan seharusnya Pemred Obor Rakyat dapat belajar dan sudah jera karena menerima hukuman penjara akibat menerbitkan berita hoaks.

Secara terpisah, Juru Bicara TKN, Irma Suryani Chaniago mengimbau bagi masyarakat maupun pendukung Jokowi-Ma'ruf untuk mewaspadai kehadiran Tabloid Obor Rakyat. Ia mewanti-wanti agar para pendukung Jokowi-Ma'ruf untuk melaporkan tabloid tersebut bila kembali memproduksi berita hoaks di dalamnya.

Selain itu, politisi PDI Perjuangan Ganjar Pranowo juga akan menggerakan para kader banteng sebagai mata dan telinga partai guna memantau rencana penerbitan kembali Tabloid Obor Rakyat.

Meski demikian, TKN tidak begitu khawatir dengan rencana penerbitan kembali Tabloid Obor Rakyat. Ia yakin pemilih kini tidak mudah terpengaruh dengan pemberitaan bohong di tengah masyarakat.

Dengan adanya rencaana penerbitan kembali Tabloid Obor Rakyat kita bisa melihat bahwa, tim pasangan capres-cawapres 02 telah mulai kehilangan nalar dan strategi untuk ambisi memenangkan pilpres dengan segala cara.

Hal ini perlu diwaspadai bersama sehingga masyarakat tidak terpengaruh dan terbentuk opini atas agenda tersebut. Kita harus mengingat bahaya hoaks dan fitnah di tengah polarisasi masyarakat.

Persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia seharusnya lebih utama dibandingkan agenda politik, apalagi ambisi pribadi. Ini yang harus kita ingat bersama.


Selasa, 08 Januari 2019

Awas, HTI Ajak Jihad Medsos Dukung Prabowo-Sandi



Baru-baru ini, seruan jihad muncul dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organ terlarang itu menyerukan kepada jamaahnya dan umat Islam untuk jihad memenangkan pasangan Prabowo-Sandi secara online.

Dalam seruan itu, HTI mengajak umat Islam untuk menjadikan ponsel cerdas sebagai senjatanya. Tujuannya dengan menyebarkan berita apapun, termasuk hoaks, agar masyarakat memilih Prabowo-Sandi.

Seruan jihad medsos oleh HTI itu tentu saja dilarang. Sebagai WNI, maka Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika harus senantiasa menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa serta bernegara.

Dengan begitu, kita tidak boleh ikut kegiatan yang diinisiasi ataupun diserukan oleh HTI yang notabene merupakan organisasi terlarang di Indonesia.

Jihad media sosial itu, selain berpotensi menjadi ladang penyebaran hoaks dan fitnah, juga bisa disalahgunakan oleh HTI untuk melancarkan misinya mendukung Prabowo demi mempermudaah pendirian negara Khilafah.

Untuk itu, masyarakat harusnya membentengi diri dari berbagai kedok HTI. Jangan sampai tertipu dengan gaya politiknya.


Duduk Perkara terkait Bocoran Pertanyaan Debat


Debat calon presiden dan wakil presiden menjadi polemik publik. Hal itu lantaran tudingan yang dilontarkan oleh Prabowo soal pertanyaan debat justru terbantahkan dan berbalik menyerangnya.

Hal itu terbuka ke publik setelah Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga menyebut, langkah Komisi Pemilihan Umum yang memberikan daftar pertanyaan kepada kandidat sepekan sebelum debat adalah permintaan dari kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Menurut dia, permintaan itu disampaikan kubu Prabowo dalam rapat tertutup bersama Tim Jokowi dan juga KPU.

Atas usulan tersebut, TKN Jokowi-Ma'ruf menerima saja. Sebab pada dasarnya bagi mereka tak ada perbedaan soal diberikan terlebih dahulu ataupun tidak.

Direktur Program Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf Amin Aria Bima memastikan kubunya tidak merasa takut dengan sistem tertutup alias pertanyaan tidak dibocorkan ke pasangan capres-cawapres. 

Sebenarnya, kesepakatan terkait pemberian soal sebelum debat ini sudah disetujui sejak lama. Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi. menyatakan bahwa kesepahaman terkait penyampaian soal-soal debat telah disepakati sejak Desember 2018 lalu.

Dengan begitu, penyampaian soal-soal sebelum debat kepada masing-masing capres-cawapres sudah disepakati sejak jauh-jauh hari.

Namun lucunya, kubu Prabowo membuat isu bahwa petahana takut debat karena meminta soal bocoran. Padahal kenyataannya justru mereka yang mengusulkannya. Inilah pelintiran yang membahayakan.

Pemberitahuan soal dilakukan secara lebih dulu bertujuan supaya masing-masing capres-cawapres lebih mengedepankan eksplorasi gagasan, visi serta misi masing-masing.

Pendapat Ketua KPU Arief Budiman juga senada. Pihaknya lebih ingin memperlihatkan soal logika paparan visi tentang Indonesia dari para kandidat. Yang ingin dicapai KPU dari para capres-cawapres bukan seperti ulangan matematika, bahwa satu ditambah sama dengan dua.

Namun KPU juga telah menyiapkan segmen pertanyaan tertutup dimana nantinya kedua pasangan calon boleh saling bertanya dan menanggapi, sehingga pasangan calon tetap akan diuji kompetensinya.

Hal ini perlu diluruskan agar tidak menjadi polemik yang berkepanjangan. Sekarang kita sudah tahu duduk masalahnya. Maka bagi publik yang diperlukan adalah menilai jawaban setiap kandidat dalam debat nanti. Semoga kita menjadi pemilih yang rasional.


18 Catatan Keberhasilan Jokowi di Bidang Ekonomi



Ketimpangan sosial yang melanda Indonesia sudah terjadi selama puluhan tahun. Setiap rezim politik selalu berjanji untuk mengatasi ini, namun hingga kini janji itu seperti menguap begitu saja.

Ketika Joko Widodo menjadi Presiden RI, dia berkomitmen untuk mengatasi persoalan mendasar tersebut. Sejumlah transformasi struktural disiapkan untuk mengurangi kesenjangan antara mereka yang kaya dan miskin, juga mengatasi ketimpangan pembangunan antar daerah.

Hasilnya cukup memuaskan. Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Erick Thohir menilai bahwa selama empat tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, pemerintah telah berhasil mewujudkan pemerataan dan penegakan keadilan sosial di Indonesia.

Hal itu dilakukan melalui berbagai kebijakan untuk meningkatkan kekuatan ekonomi rakyat dan menciptakan kemandirian ekonomi bangsa. Baru kali ini pembangunan justru dimulai daerah pinggiran dan pedesaan, dua wilayah yang selama ini diabaikan.

Transformasi struktural menjadi fokus pemerintahan Presiden Jokowi yang mencakup tiga fokus fundamental, yaitu alokasi sumber daya, kebijakan yang berpihak, dan pemberdayaan pelaku ekonomi.

Dalam catatan TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, setidaknya terdapat 18 keberhasilan Jokowi di bidang ekonomi yang menonjol. Diantaranya, terkendalinya harga-harga pangan, tingkat kemiskinan terendah sepanjang sejarah, semakin banyak warga yang bekerja, dan kehidupan warga terjamin.

Kemudian, kualitas hidup meningkat, pendidikan membaik, penguasaan aset menyebar, BBM satu harga, membangun perbatasan, dan poros maritim semakin nyata.

Diikuti dengan perizinan semakin mudah, peringkat investasi dan daya saing membaik, Proyek Strategis Nasional (PSN), komitmen membangun desa, insentif pajak UMKM, adanya Kredit Usaha Rakyat yang berbungan rendah, dan distribusi aset untuk rakyat.

Semua program itu mengarah pada SATU hal, yakni Indonesia yang MAJU. Dengan segala keberhasilan seperti itu, maka sangat layak bila Jokowi lanjut satu periode lagi.


Prabowo, Simbol Bangkitnya Kekuatan Sisa Orde Baru, Anti Demokrasi, dan Fundamentalisme Agama



Bila kita menengok sejarah, tak bisa dipungkiri bila Prabowo Subianto merupakan bagian dari rezim imperialis yang bercokol di Indonesia. Ia, bapaknya dan mertuanya adalah penyokong berdirinya Orde Baru, sebuah rezim otoriter yang mengkudeta Soekarno.

Ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo adalah petinggi Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang memusuhi Soekarno. Ketika kekuasaan Soekarno dipreteli oleh Soeharto, dia turut menjadi arsitek rezim tersebut.

Dengan slogan modernisasi, Soemitro Djojohadikusumo saat menjadi Menteri Negara Riset Nasional berhasil menggadaikan seluruh kekayaan alam nasional kepada asing dan tenaga kerja rakyat Indonesia secara murah. Salah satu yang monumental adalah lahirnya izin Kontrak Karya tambang Grasberg di Papua ke Freeport.

Kondisi tersebut terus berlanjut ketika sang putra (Prabowo) menikah dengan putri penguasa Orde Baru (Titiek Soeharto). Sebuah kolaborasi untuk semakin melanggengkan kekuasaan dari ancaman apapun.

Soemitro, Prabowo dan Soeharto adalah gabungan dari intelektual, penguasa politik dan prajurit militer yang menjaga kekuasaan   yang despotik dari Orde Baru. Itu yang kemudian dijatuhkan oleh gerakan reformasi pada tahun 1998.

Dengan begitu, tak bisa dipungkiri bahwa kekuatan pendukung Prabowo saat ini adalah kekuatan politik yang secara historis terlibat dalam menghancurkan kekuatan politik anti-imperialism dan anti-kolonialisme Soekarno dengan gagasan Tri Saktinya.

Secara historis kekuatan pro imperialis itu telah terbukti menghancurkan sistem demokrasi demi kekuasaan. Ancaman kembalinya masa-masa penuh represif, horror dan ketakutan kini telah membayang dalam pentas politik Indonesia.

Oleh karena itu, bukan tidak mungkin jika koalisi reaksioner ini menang maka semua sejarah kelam yang dialami bangsa ini akan terkubur dan tidak akan diketahui oleh generasi selanjutnya.

Sebaliknya gerakan-gerakan demokratis yang saat ini mulai bangkit mempertanyakan hak nya sebagai warga Negara akan kembali layu sebelum berkembang. 

Ambisi Prabowo untuk maju Presiden kali ini didukung oleh sisa Orde Baru, kelompok anti-demokrasi, dan penyokong fundamentalisme agama. Sebuah perpaduan yang mengerikan bila mereka diberikan kesempatan berkuasa.


Senin, 07 Januari 2019

Prabowo Subianto, Pelanggar HAM yang Mimpi Menjadi Presiden RI




Prabowo Subianto sangat berambisi ingin menjadi Presiden Republik Indonesia. Meskipun dirinya telah memiliki rekam jejak yang penuh darah karena pelanggaran HAM.

Di beberapa daerah, efek Prabowo tidak terlihat signifikan. Salah satunya di Aceh.

Hal ini terbukti ketika Pemilu Legislatif (Pileg) lalu perolehan kursi untuk DPR RI Partai Gerindra jauh dari target.

Salah satu sebabnya karena figur Prabowo dinilai kurang menggigit di Aceh karena faktor latar belakang, yakni stigma pelanggaran HAM.

Ya, pelanggaran HAM menjadi perasaan traumatik tersendiri bagi rakyat Aceh. Sebab mereka pernah mengalami pelanggaran HAM itu.

Rakyat Aceh tak sendirian. Masih banyak masyarakat di wilayah lain yang merasakan hal yang sama.

Oleh karena itu, Prabowo sebagai tersangka pelanggaran HAM tak perlu bermimpi untuk menang dalan Pilpres 2019 mendatang. Hal itu agar tidak menjadi beban perasaan, sebab ambisinya yang besar kandas kembali.

Pilpres 2019 ini, disadari atau tidak, merupakan titik kulminasi dari ambisi Prabowo untuk merasakan manisnya kekuasaan menjadi Presiden RI. Namun, pada pemilihan nanti akan menjadi penegas kembali bahwa dirinya adalah capres abadi.

Ya, Prabowo adalah capres abadi karena figurnya tak diminati oleh rakyat Indonesia.


Jumat, 04 Januari 2019

Naudzubillah, Dengan Penuh Kebencian Ahmad Al Habsyi Fitnah Pemerintah Otoriter di Ka'bah


Naudzubillah, Dengan Penuh Kebencian Ahmad Al Habsyi Fitnah Pemerintah Otoriter di Ka'bah

Beberapa waktu lalu beredar video pendek Ahmad Al Habsyi yang memaki-maki pemerintah di depan Ka'bah. Lantaran foto yang baru saja diupload di akunnya dihapus oleh Instagram.

Tanpa mengetahui duduk perkaranya, penceramah itu justru menyalahkan pemerintah. Padahal kita tahu, pemerintah tak ada sangkut pautnya soal penghapusan foto seseorang.

Instagram adalah sebuah platform sosial media yang memiliki kebijakan sendiri dalam hal penentuan kelayakan gambar beserta 'caption' yang bisa ditampilkan.

Instagram juga telah menggunakan teknologi yang aktif untuk mendeteksi adanya gambar beserta caption-nya yang kemudian diteruskan kepada tim Operasi Komunitas untuk ditinjau.

Dengan begitu, keputusan penghapusan atau tidak berada di pihak Instagram, bukan atas intervensi rezim pemerintah seperti yang dituduhkan. Hal itu tak ada sangkut pautnya dengan pemerintah Indonesia.

Instagram memiliki batasan bagi pengguna melalui pedoman komunitas (baca: https://help.instagram.com/477434105621119), dimana pelanggaran terhadap batasan akan mengakibatkan penghapusan konten, penonaktifan akun atau larangan lainnya.

Saat ini, Instagram juga telah memiliki perluasan fitur penyaring komentar dalam Bahasa Indonesia sebagai salah satu upaya menjaga Instagram sebagai tempat aman dan positif untuk berekspesi dan membagikan minat pengguna di Indonesia.

Fitur tersebut dibuat dengan teknologi mesin pembelajaran (machine learning) yang secara otomatis akan menyaring komentar yang dapat membuat pengguna merasa tidak nyaman seperti perundungan (bullying), ujaran kebencian, pelecehan seksual, dan komentar spam.

Dengan demikian, apa yang disampaikan oleh Ahmad Al Habsyi itu opini seseorang yang tak paham aturan penggunaan Instagram. Karena ketidakpahaman itu, lantas opininya jadi ngawur.

Dengan kata lain, dia tengah menyebarkan opini pribadi kepada khalayak dengan menuduh pemerintah seakan-akan umat Islam sedang ditekan dan dibatasi oleh rezim pemerintah melalui penghapusan foto di Instagram. Padahal setiap platform media sosial memiliki kebijakan tersendiri.

Inilah seseorang yang mengaku penceramah, tetapi ternyata tak paham substansi yang disampaikannya. Hanya demi kebencian, dia menyebarluaskan fitnah. Naudzubillahi min dzalik.


Polemik Dana Kampanye dalam Koalisi Adil Makmur, Benarkah Mulai Retak?



Beberapa waktu lalu, Prabowo dan Sandi menyindir elit partai koalisi pendukungnya yang belum menyumbangkan dana kampanye. Persoalan ini dinilai sensitif, hingga berpotensi merusak ikatan koalisi. 

Beberapa kali, pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi memang mengeluh soal dana kampanye ini. Karena sudah menipis, mereka kemudian menggalakkan sumbangan dari para relawan.

Faktanya, hingga kini memang tidak ada dana dari partai pendukung koalisinya seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, dan PAN. Namun, sindiran keras Prabowo dan Sandi memang menyakitkan partai pengusung mereka.

Polemik dana kampanye BPN Prabowo-Sandi seharusnya tidak perlu diumbar ke publik. Karena hal tersebut bersifat internal dan hanya akan berdampak pada pandangan negatif masyarakat jika dipermasalahkan.

Pembahasan dana kampanye di depan publik dan media massa dapat menurunkan semangat kader di tiap daerah juga citra negatif masyarakat.

Konsep Adil dan Makmur yang diusung Prabowo-Sandi sepertinya mulai tak sejalan dengan kenyataan, apalagi antar partai yang berkoalisi. Bahkan bisa saja akan berakhir tanpa bukti nyata yang bisa dirasakan oleh Prabowo maupun Sandi.

Keluh kesah Prabowo dan Sandi terkait tidak imbangnya sumbangan dana kampanye, sehingga  sebagian besar dana kampanye berasal dari dirinya sendiri dan partai Gerindra, bisa memunculkan anggapan bahwa partai koalisi lain hanya menumpang. Hal ini telah menunjukkan tidak kompaknya koalisi yang seharusnya mampu bersikap adil sejak awal dibentuk.

Konsep keadilan yang tak terwujud sejak di internal koalisi bisa menjadi penyebab perpecahan. Persis sebagaimana nasib Koalisi Merah Putih terdahulu yang berakhir abu-abu karena akhirnya semua kembali ke kepentingan partai masing-masing.

Jika mengurus BPN di lingkup internal saja sudah tidak bisa dimaknai secara adil, bagaimana nantinya akan membangun masyarakat Indonesia Makmur. Inilah yang perlu dipahami oleh publik.

Sudah saatnya kita merenungkan dan kembali “bersatu” merapatkan barisan demi majunya NKRI.


Miskin Gagasan, Prabowo-Sandi Lebih Banyak Memainkan Isu Klise dan Jargonistik



Selama 3 bulan masa kampanye, kandidat capres-cawapres nomor urut 02 tercatat banyak memainkan isu yang isinya memutarbalikkan fakta dan bermain sandiwara. Isu yang diangkatnya selalu klise, dan tak pernah menyentuh akar permasalahan masyarakat.

Bahkan, kandidat nomor 02 itu sering menuduh bahwa kubu Jokowi-Ma'ruf tidak mau berdebat soal program dan gagasan, namun faktanya Prabowo-Sandi dan timsesnya justru tidak pernah bicara terkait program dan gagasannya, serta sibuk menebar kabar bohong dan membuat kontroversi.

Bila diamati dengan seksama, visi misi Prabowo-Sandi sebenarnya sangat miskin gagasan, klise dan penuh jargon. Hal ini senada dengan pandangan Jubir TKN Jokowi-Ma'ruf, Ace Hasan Syadzily.

Sebagian dari apa yang dijanjikan oleh Prabowo-Sandi itu sudah pernah dikerjakan oleh Jokowi. Bahkan, janjinya banyak yang bertentangan. Karena terlihat sangat berantakan seperti itu, maka tidak pernah dijadikan rujukan oleh timsesnya sendiri.

Hingga kini rakyat masih menunggu gagasan dan program segar Prabowo-Sandi. Kita berharap kandidat nomor 02 itu jangan hanya pandai bermain sandiwara untuk menarik perhatian saja.

Namun sayangnya, menunggu debat gagasan dari Prabowo-Sandi sama halnya dengan tong kosong nyaring bunyinya, banyak suara tapi sedikit isinya. Tetapi bagaimanapun, seperti itulah kenyataannya.

Oposisi yang minim kualitas dan tak kredibel.


Kamis, 03 Januari 2019

Rehabilitasi Irigasi Bertambah Signifikan, Hasil Panen Melonjak



Kementerian Pertanian selama empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo berhasil merehabilitasi jaringan irigasi tersier seluas 3,12 juta hektare.

Lebih lengkapnya rehabilitasi ini meliputi jaringan irigasi tersier, pembangunan irigasi perpompaan serta pengembangan embung, dan parit atau long storage.

Rehabilitasi ini dilakukan untuk membangun tingkat usaha tani dan pengembangan sumber air (model padat karya) oleh petani.

Hasilnya rata-rata mampu meningkatkan indeks panen (IP) 0,5. Dari luasan 3,12 juta hektare, mampu mempertahankan produksi padi sebanyak 16,36 juta ton.

Apabila peningkatan IP 0,5 terpenuhi akan meningkatkan produksi sebanyak 8,18 juta ton.

Oleh karena itu, selama lima tahun pada area yang terdampak kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi mencapai 24,37 juta ton.

Kegiatan yang dilaksanakan Ditjen PSP ini, secara langsung atau tidak langsung, berdampak pada peningkatan IP, penambahan luas baku lahan sawah, luas tambah tanam, perlindungan usaha tani, dan peningkatan produktivitas untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Kita berharap perbaikan ini terus berlanjut ke depannya. Agar kesejahteraan petani, yang menjadi salah satu basis masyarakat Indonesia bisa lebih baik lagi.


Kejahatan Kemanusiaan Prabowo Subianto di Nggeselema Papua




Kisah kelam kembali hadir dari perjalanan karier mantan Danjen Kopassus, Prabowo Subianto. Ia dikabarkan terlibat dalam kasus pembantaian di desa Nggeselema Papua tahun 1996.

Dalam pembantaian itu, Prabowo juga melibatkan tentara asing SAS Inggris dan tentara bayaran yang bermarkas di Afrika Selatan. Dalihnya ada penyanderaan warga sipil.

Kemudian, dalam drama itu, Prabowo dan Kopassus berperan seolah melakukan pembebasan/penyerahan para sandera di Geselema. Tujuannya untuk menaikkan nama atau pamor Prabowo.

Dengan itu,  Prabowo telah melakukan kebohongan publik untuk menaikkan pamornya sebagai pimpinan saat itu. Kebohongan tersebut untuk menutupi kejadian pembantaian warga sipil setelah pelepasan sandera.

Namun dari kejadian itu telah terjadi pelanggaran HAM di wilayah tersebut terkait dengan krisis penyanderaan dan Operasi Militer yang dipimpin Prabowo dengan sederetan kasus yang berdampak pada warga sipil lokal.

Diantaranya, adalah pembunuhan, perkosaan, pemusnahan gereja dan rumah penduduk, kurangnya bahan pangan yang menyebabkan kematian, serta pengungsian besar-besaran.

Berdasarkan rekam jejaknya, Prabowo tidak menujukkan kepedulian terhadap HAM. Apa yang dilakukan Prabowo di Nggeselema Papua adalah upaya merebut krisis sebagai sarana untuk meningkatkan reputasinya dalam negeri dan masyarakat internasional.

Hal itu dilakukan melalui rencana pembebasan sandera dengan sebuah “pembayaran” berdalih negoisasi yang berujung penembakan warga sipil karena dianggap bersimpati kepada OPM.

Hingga kini Prabowo tak pernah mempertanggung jawabkan perkara tersebut. Tetapi kisah kelam ini jangan sampai dilupakan oleh generasi berikutnya, untuk menjadi pelajaran bersama.