Kamis, 29 Agustus 2019

Panik dengan Langkah Visioner Pemerintah, Fadli Zon Rajin Nyinyir soal Rencana Pemindahan Ibukota Negara



Di setiap visi besar pasti akan banyak hambatan dan tantangan. Setiap langkahnya akan diikuti dengan cibiran dan hujatan, meskipun yang melakukannya itu tidak mengetahui apa-apa. 

Termasuk bila kita ingin mewujudkan mimpi Indonesia yang maju. Tepatnya saat pemerintah berencana memindahkan Ibukota Negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. 

Tantangan itu salah satunya datang dari cibiran politisi seperti Fadli Zon ini. Dia menyebut proses pemindahan Ibu Kota Negara disebut dijalankan secara amatiran oleh pemerintah.

Tanpa melihat konteks dan alasan kebijakan tersebut, juga progress yang dilakukan pemerintah, Fadli Zon langsung merespon negatif saja. 

Baginya, pemerintah memang tak ada benarnya. Dan dia ingin tampil seolah sebagai pahlawan. Makanya kritikan tanpa substansi seperti itu diungkapkannya. 

Yang jelas, sikap nyinyir Fadli Zon terhadap pemindahan ibu kota sebenarnya bentuk kepanikan dirinya melihat keberanian seorang Jokowi mengambil langkah besar dan perbaikan terhadap Indonesia.

Meskipun beberapa pihak mengkritik dan memberikan dugaan negatif terhadap rencana pemindahan Ibukota ini, tetapi tidak akan menyurutkan langkah Presiden Jokowi.

Karena Pemerintah telah memiliki ketetatapan penuh atas pemindahan Ibukota dengan tidak mengesampingkan aturan yang berlaku. Semua ini demi mewujudkan visi besar Indonesia Maju. 

Mereka yang bermental 'kerdil' akan mencibir kebijakan ini dengan sejumlah argumen yang tak bermutu. Menunjukan bahwa dirinya memang tak mampu berpikir visioner ke depan.

Sikap Tegas Pemerintah dan Masyarakat Papua Menolak Keberadaan FPI dan HTI



Sikap tegas ditunjukan oleh Pemerintah Provinsi Papua terkait keberadaan organisasi radikal. Mereka melarang keberadaaan organisasi yang ingin mengadu domba masyarakat dengan dalih agama.

Hal itu terlihat saat Pemprov Papua mengumumkan sikap legal Tidak mau kehadiran kubu maupun organisasi kemasyarakatan (Ormas) radikal islam, seperti Forum Pembela Islam (FPI) maupun Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Kubu maupun organisasi islam tersebut dianggap berkemungkinan tinggi menimbulkan konflik suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) di Bumi Cenderawasih.

Penolakan ini langsung disampaikan Gubernur Papua Lukas Enembe dalam acara ramah tamah bersama-sama Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB) di kediaman Pdt. Lipiyus Biniluk, Sentani Kabupaten Jayapura, Sabtu akhir Minggu kemarin.

Penegasan Lukas pun bukan tanpa argumentasi. Ia kuatir kejadian yang terjadi di Pilkada Jakarta, merembes sampai ke Papua, bila 2 kubu radikal itu dibiarkan berkembang bebas di tanah ini.

Sikap Pemprov Papua itu juga diamini oleh masyarakat sipil, yang sama-sama menolak kehadiran ormas radikal seperti FPI dan HTI di tanah Papua.

Terlihat dari sikap Ketua FKUB Papua, Pdt. Lipiyus Biniluk yang menyatakan bahwa eksistensi dan keberadaan kelompok radikal Islam di Papua itu mesti secepatnya diputus. 

FKUB juga menyerukan agar kita semua berdoa supaya Indonesia mampu menghadapi radikalisme sehingga tak ada konflik yang berkepanjangan, termasuk di Papua. 

Mari kita tangani kelompok radikal dengan profesional supaya tidak ada konflik di masyarakat. Tak ada ruang bagi mereka untuk tumbuh di tanah air.

Optimis Indonesia Maju, Menjawab Tudingan Grusa-Grusu dari Mardani Ali Sera




Politik Tagar kembali diserukan oleh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera. Seperti kritikan tagar yang lalu, kini Mardani mengajak masyarakat untuk menggunakan tagar #GrusaGrusu

Tagar #GrusaGrusu ini diarahkan untuk merespon rencana pemindahan Ibukota ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sebagaimana diinisiasi oleh pemerintahan Presiden Jokowi. 

Tanpa melihat konteks dan memahami alasan pemerintah, Mardani langsung mengkritik saja. Tapi seperti yang dulu-dulu, kritikan itu juga tanpa diikuti solusi nyata. Jadi mirip sebatas nyinyir tanpa substansi. 

Sebagai oposisi sejati, tentu saja, dia gengsi untuk mendukung kebijakan pemerintah, meskipun kebijakan itu benar sekalipun. 

Yang ada, dia hanya mau menyerang dan menjatuhkan pemerintah saja, agar dirinya dan kelompoknya dianggap paling pintar dan bisa berkuasa. 

Padahal, kalau dikaji secara serius, rencana pemerintah untuk memindahkan Ibukota itu sudah direncanakan sejak dulu. Berbagai kajian dan riset dilakukan untuk mencari solusi atas masalah Ibukota dan Jawa saat ini. 

Rencana tersebut sudah digagas sejak lama, bahkan rencana itu sudah ada sejak era Presiden Soekarno. Kala itu, Kalimantan Tengah dicanangkan sebagai calon Ibukota negara yang baru.

Harus diakui, sebagai bangsa besar dengan usia 74 tahun, kita belum pernah menentukan dan merancang Ibukota sendiri. 

Setelah studi intensif selama 3 tahun terakhir, akhirnya diputuskan bahwa lokasi ideal untuk Ibukota Negara Indonesia adalah di Kalimantan Timur.

Tujuan pemindahan Ibukota ini, diantaranya, untuk mengurangi beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan, bisnis, keuangan, perdagangan, jasa, serta bandara dan pelabuhan terbesar di Indonesia. 

Selain itu, juga untuk mengurangi beban Pulau Jawa yang semakin padat penduduk, kemacetan lalu lintas yang parah, polusi udara dan air yang tinggi, dan daya dukung lingkungan yang sudah tak memadai. 

Di samping itu, pemindahan Ibukota ini juga untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara kawasan Jawa dan di luar Jawa. Pemerataan ekonomi adalah aspek yang penting atas kebijakan ini.

Dengan konteks dan alasan di atas, maka tuduhan grusa-grusu atas kebijakan tersebut sepertinya salah alamat. Rencana pemindahan Ibukota Negara ini sudah tepat sekarang. 

Kini saatnya kita optimis menatap masa depan Indonesia yang maju. Pembangunan ekonomi yang merata dan sumber daya manusia yang unggul. 

Dan, pemindahan Ibukota ini adalah satu diantara langkah untuk mewujudkan harapan tersebut. 

Jadi jangan mau dibodohi oleh oposisi yang kurang paham dengan kebijakan ini.

Sabtu, 24 Agustus 2019

Instalasi Seni Gabion Gantikan "Getah-Getih", Pemborosan Anggaran Lagi?



Pemasangan instalasi Gabion sebagai pengganti instalasi bambu Getih Getah di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, mengundang berbagai tanggapan masyarakat. 

Apalagi pembuatan gabion juga menelan anggaran Rp 150 juta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Yang menjadi masalah, instalasi seni itu lebih buruk dari Getah Getih. Pasalnya, Gabion itu justru mirip “popcorn” yang biasa kita lihat dijual di dalam gedung bioskop.

Tak hanya itu, Gabion juga menimbulkan kontroversi di masyarakat, sama seperti karya seni pendahulunya. Banyak juga yang membahas mahalnya biaya pembuatan serta manfaat bagi warga DKI yang belum terjawab secara nalar.

Kita tak habis pikir dengan jalan pikiran Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Apa yang dikerjakannya seolah tak ada yang masuk akal.

Apalagi, karya seni itu didapuk dengan makna yang muluk-muluk. Katanya, Gabio ini juga untuk mengurangi polusi udara. Hello? Masih waras? 

Ide dan program Gubernur DKI Jakarta ini belum bisa diterima oleh khalayak warga DKI dan masyarakat di Jakarta.  Entah karena Gubernurnya yang terlalu jago berkhayal, atau karena masyarakatnya yang kurang memahami nalar pemimpinnya.

Kita tak habis pikir dengan cara Gabener untuk menghabiskan anggaran dengan sia-sia seperti ini. Inilah bukti dirinya memang tak mampu bekerja, tetapi hanya cakap berkata-kata.

Pihak yang Bermanuver di Balik Tuntutan Pencopotan Kepala BIN dan Kapolri



Setelah kerusuhan di Papua mereda, beberapa pihak kembali bermanuver. Mereka memanfaatkan momentum ini untuk  kepentingannya masing-masing.

Seperti seruan aksi yang digalang oleh Gerakan Mahasiswa Melanesia (Gema Melanesia). Mereka akan menggelar aksi di depan Istana Negara Jakarta pada Senin (26/8) guna mendesak Presiden Jokowi segera mencopot Kepala BIN dan Kapolri. 

Kedua pejabat tersebut dinilai memiliki tanggung jawab besar atas meledaknya isu rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang hingga menjalar ke permintaan referendum dan merdeka.

Entah apa motif Gema Melanesia atas tuntutannya tersebut. Mereka seakan memanfaatkan isu Papua ini untuk mendompleng kepentingannya guna mengganti dua pejabat di atas. 

Padahal kalau dipikir dengan akan sehat, tuntutan pencopotan Kepala BIN dan Kapolri itu sangat berlebihan dalam menyikapi kerusuhan mahasiswa Papua. 

Hal ini dikarenakan BIN dan Polri sudah bekerja sesuai SOP, namun kadang gejolak di lapangan tidak selalu dapat diprediksi. 

Pertanyaan terpenting bukan siapa yang salah, tetapi soal bagaimana peristiwa itu terjadi. 

Perlu diketahui, saat ini proses penyelidikan terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam kerusuhan mahasiswa Papua di Surabaya, maupun di wilayah Papua dan Papua Barat, sedang berlangsung. 

Sehingga semua pihak, termasuk Gema Melanesia, harus bersabar dan mendukung langkah yang sedang diusahakan oleh Pemerintah. Bukan justru melakukan aksi-aksi yang semakin memperkeruh situasi dan menciptakan disintegrasi. 

Di sisi lain, tuntutan pencopotan Kepala BIN dan Kapolri serta rencana aksi Gema Melanesia itu mengindikasikan bahwa Gema Melanesia merupakan bagian dari kelompok-kelompok kepentingan yang mengambil kesempatan dari isu rasisme di Papua untuk menekan pemerintah.

Inilah yang harus diantisipasi agar kita tidak dipermainkan oleh segelintir oknum dalam bermanuver atas kepentingannya. Hati-hati provokasi murahan.

FPI Tiba-Tiba Nasionalis di Kasus Papua, Taktik untuk Memperpanjang Izin Ormas?



Front Pembela Islam (FPI) terlibat dalam pengepungan Asrama Mahasiswa Papua AMP di Surabaya, Jawa Timur. Namun anehnya, mereka menyangkal keterlibatan tersebut.

Padahal, dalam rekaman video yang beredar, mereka terlihat jelas turut serta dalam pengepungan tersebut. Bahkan, mereka terlibat dalam tindakan rasisme kepada Mahasiswa Papua.

Namun apa kata FPI? Merek mengklaim itu sebagai rasa cinta demi membela NKRI. 

Pernyataan itu kontradiktif dengan kelakuan FPI selama ini. Sejak kapan mereka berubah jadi nasionalis? 

Karena mereka sendiri telah sepakat untuk mewujudkan NKRI Bersyariah alias khilafah di Indonesia.

Lucunya, FPI mengaku hanya diajak oleh ormas lain dalam penyerbuan Asrama Mahasiswa Papua itu. Ini seperti tindakan lempar tangan dan pengecut atas tindakan yang telah mereka lakukan.

Secara kronologi, kejadian pengepungan mahasiswa Papua itu berawal dari peredaran hoaks berupa foto bendera merah putih yang dirusak. Hoaks itu beredar melalui grup Whatapps. 

Namun ternyata hoaks itu terbukti tidak benar karena pelakunya bukan mahasiswa Papua. 

Fakta lain, FPI sendiri terlibat koordinasi dengan ormas-ormas lain untuk melakukan penyerangan. Artinya, mereka memang telah merencanakan sebelumnya.

Jadi tak masuk akal jika FPI seolah hanya diajak dan pasif dalam pengepungan Asrama Mahasiswa Papua itu. Kenyataannya mereka justru sebagai pelaku aktif.

Sudah terlampau banyak kelakuan FPI yang pengecut dengan melempar tangan ketika kesalahannya terungkap publik. 

Anehnya lagi, kini FPI berubah atau mendadak menjadi pembela NKRI. Padahal sebelumnya mereka memiliki agenda islamisasi di Indonesia.

Tindak tanduk tiba-tiba nasionalis dari FPI itu terpaksa dilakukan sebagai taktik belaka. Tujuannya demi memuluskan proses perpanjangan izin ormas mereka.

Selain sebagai pengalihan isu agar wacana islamisasi mereka untuk mewujudkan NKRI Bersyariah tertutup dengan isu separatisme. 

Itulah taktik licik dari ormas FPI. Meskipun mereka menggalang jalan seperti itu, tetapi kita tak bisa dibodohi begitu saja. 

Jangan tertipu!

Tak Ingin Papua Maju, Poros Politik Dalangi Kerusuhan di Papua




Kerusuhan di Papua akhir-akhir ini tidak terjadi dengan sendirinya. Diduga kuat ada aktor yang turut menggerakannya. 

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) menilai ada keterlibatan poros politik dalam kerusuhan di Papua. Menurutnya, poros politik itu sengaja memperkeruh suasana karena memiliki tujuan tertentu.

Meski tidak menyebutkan secara rinci siapa poros politik yang dimaksudnya. Namun dia menganggap kelompok itu tidak menyukai kemajuan di Papua.

Yang jelas, kelompok-kelompok itu cemas bila Papua maju mereka tidak bisa lagi 'berjualan' ke luar negeri.

Menurutnya, kelompok politik ini takut kehilangan pengaruh kalau masyarakat Papua semakin maju. Kelompok tersebut nantinya tidak bisa memenuhi tujuan politisnya kalau Papua semakin baik.

Padahal, Presiden Joko Widodo terus berusaha membangun kesejahteraan rakyat Papua untuk meningkatkan SDM dan infrastruktur Papua dengan baik. 

Pendekatan pemerintah pun sudah berubah, tidak lagi mengandalkan pendekatan keamanan. Melainkan lebih menekankan pendekatan dialog dan kesejahteraan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Papua. 

Menghadapi situasi demikian, semua masyarakat Papua diharapkan tetap tenang. Tak usah khawatir berlebihan karena pemerintah telah memetakan kelompok tersebut, dan tetap bekerja untuk membangun Papua.

Frans Kaisiepo, Jejak Papua dalam Republik Indonesia



Jejak Papua dalam Republik Indonesia seturut dengan pendirian negara ini. Banyak aktivis kemerdekaan yang berasal dari wilayah paling ujung timur tersebut.

Diantara pejuang kemerdekaan dari Papua itu adalah Frans Kaisiepo. Dari keringatnya, lahir nama Irian, akronim dari 'Ikut Republik Indonesia Anti Nederland'.

Di kala perintah mengibarkan bendera bintang kejora menggema dari Belanda, Ia memilih merah putih dengan segala risiko.

Frans, yang lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921, dikenal sebagai aktivis gerakan kemerdekaan RI sejak muda. Setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dia jadi salah satu orang yang mengibarkan sang saka Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya di Papua.

Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan perkenalan Frans dengan rasa nasionalisme Indonesia dimulai saat dia bertemu dengan Sugoro Atmoprasodjo, seorang mantan bekas tahanan politik di Digul.

Perkenalan inilah yang menumbuhkan rasa kebangsaan. Kemudian rasa nasionalisme itu makin bertambah saat dirinya bersekolah di Bestuur School/Pamong Praja pada 1952-1954.

Gerakan dukungannya terhadap Indoenesia dimulai dari hal dasar, yakni soal nama. Ia mempromosikan nama Irian, alih-alih Papua.

Irian diketahui berasal dari Bahasa Biak, Papua, yang berarti 'sinar yang menghalau kabut'. Dalam Bahasa Merauke, "Iri" artinya ditempatkan atau diangkat tinggi, sementara "an" artinya bangsa. Sehingga, Irian adalah bangsa yang diangkat tinggi.

Pemilihan nama Irian oleh Frans untuk dipromosikan itu sangat tepat. Sebab, nama ini sangat Indonesia karena merupakan kependekan dari 'Ikut Republik Indonesia Anti-Nederland'. 

Sementara, nama Papua dipakai di era penjajahan Belanda. 

Frans pernah didapuk sebagai Gubernur Irian Barat dari 1964 hingga 1973. Dia juga menjadi anggota Kepemimpinan Hakim Tertinggi, Dewan Pertimbangan Agung RI pada 1972. 

Frans meninggal pada 10 April 1979 kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional menurut Kepres  077/TK/1993. 

Frans menjadi salah satu tokoh sejarah yang dipilih untuk dilukis dalam edisi terbaru uang kertas rupiah Indonesia edisi 2016, yakni uang kertas senilai Rp10 ribu.

Perjuangan Frans Kaisiepo adalah bukti perjalanan Papua dalam sejarah Republik Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI sejak dulu. 

Kita harus berkomitmen teguh untuk menjaga Papua selamanya. Papua sama dengan Jawa, sama-sama anak bangsa Indonesia.

Inilah Alasan Gerindra Serang Balik Rencana Pemindahan Ibukota Negara



Sikap inkonsisten atau mencla-mencle ditunjukan oleh Partai Gerindra terkait dengan isu pemindahan Ibukota. Awalnya, mereka setuju dan mendukung rencana tersebut, tetapi di lain hari mereka 'menyerang' rencana pemindahan Ibukota.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto awalnya terlihat setuju dengan adanya rencana pemindahan Ibu Kota Indonesia dari Jakarta. Sebab, kata dia, pemindahan Ibu Kita adalah perjuangan Gerindra sejak lama.

Bahkan, katanya, Gerindra sudah memperjuangkan itu sejak tahun 2014. 

Namun, beberapa hari kemudian, Bambang Haryo, kader Partai Gerindra yang duduk di kursi DPR RI, tiba-tiba menyebut pemindahan Ibukota itu melanggar hukum. 

Tak hanya itu, dia bahkan mengancam akan menggunakan hak interpelasi atas kebijakan tersebut. 

Melihat dua kondisi yang bertolak belakang tersebut, kita tak habis pikir. Kenapa mereka tiba-tiba berubah sikap?

Dugaan terkuat mengapa Gerindra berbalik menyerang Jokowi terkait rencana pemindahan ibu kota ke Kaltim itu dikarenakan banyak kepentingan Prabowo di Kaltim. 

Seperti diketahui, Prabowo memiliki tanah yang sangat luas di Kaltim, hingga 220.000 ha atau lebih dari luas DKI Jakarta. Alhasil, jika ibu kota dipindahkan ke Kaltim, tanah Prabowo akan terancam penguasaannya.

Ancaman terhadap kepemilikan tanah Prabowo di Kaltim tersebut menimbulkan keinginan Gerindra untuk menggulingkan Presiden Jokowi. 

Sikap Gerindra ini berbanding terbalik, padahal awalnya telah terjalin hubungan baik antara Prabowo dan Jokowi pasca Pilpres. 

Namun pasca pengumuman pemindahan Ibukota, Gerindra malah berbalik memusuhi Pemerintah dan menilai pemindahan Ibukota itu hanya sebuah bentuk pemborosan. 

Terang saja, pemahaman Gerindra tersebut terlihat dipaksanakan. Karena pembiayaan pemindahan Ibukota sudah jelas skemanya.

Itulah cara berpolitik Gerindra yang bisa berbolak-balik demi kepentingan Tuannya. Kalau kepentingan bisnis dan politik bos-nya itu diganggu, mereka akan berubah sikap. 

Begitukah politik yang santun dan penuh etika itu? Tentu saja tidak.

Sabtu, 17 Agustus 2019

NKRI Sudah Bersyariah, Mahfud MD Kritik Gagasan Ijtima Ulama ke-IV




Wacana "NKRI Bersyariah" yang diajukan oleh Ijtima Ulama ke-IV mendapatkan kritikan dan penolakan dari berbagai pihak. Salah satunya dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD.

Ia menolak sekaligus mengkritik gagasan NKRI Bersyariah yang digaungkan para ulama GNPF dalam Ijtima Ulama ke-IV di Bogor, beberapa waktu lalu. 

Bagi Mahfud, NKRI bersyariah tidak perlu karena NKRI esensinya sudah bersyariah. Sebab, bersyariah itu artinya hidup dalam kebersamaan, kesetaraan, dan saling menghargai, serta tidak ada diskriminasi. 

Bila melihat kriteria tersebut, maka NKRI sudah seperti bersyariah. Tak perlu digembar-gemborkan.

Disadari atau tidak, jiwa syariat sudah di mana-mana. Kemashlahatan bagi masyarakat, kebersamaan, kejujuran, penegakan hukum, demokrasi, pemimpin yang amanah itu adalah jiwa syariah. Semua itu ada di negara Indonesia saat ini. 

Hal tersebut yang diidam-idamkan ulama sejak dulu saat ikut mendirikan NKRI tanpa secara formal mengatakan 'mari hidup bersyariah'. 

Seperti itulah cara hidup kita yang baik. Tidak usah dikatakan, karena memang itulah Indonesia.

Bila ada yang berteriak-teriak ingin menerapkan syariah di Indonesia berarti mereka tak paham soal syariah dan Indonesia itu sendiri. 

Karena kita justru telah menerapkan kehidupan yang syariah, tanpa embel-embel seperti yang diajukan Ijtima Ulama tersebut.

NKRI Bersyariah Tak Diperlukan, Cukup NKRI saja, Titik!




Wacana "NKRI Bersyariah" yang dikeluarkan Ijtima Ulama ke-IV ditolak oleh berbagai pihak. Mereka umumnya menyebut konsep tersebut sudah kadaluarsa dan tak sesuai dengan semangat kebangsaan Indonesia.

Sebagaiamana diketahui, Ijtima Ulama ke-IV tersebut diinisiasi oleh beberapa kelompok radikal, diantaranya PA 212, FPI, dan HTI. Ijtima Ulama itu adalah upaya untuk mencari panggung setelah ditinggalkan oleh kubu Prabowo. 

Lucunya, seolah Ijtima Ulama itu penting bagi bangsa Indonesia. Namun faktanya tidak. Mereka hanya halusinasi saja ketika mensejajarkan diri dengan ormas besar, seperti NU dan Muhammadiyah. 

Oleh karena itu, ketika mereka menyinggung konsep NKRI Bersyariah, maka langsung berakhir dengan penolakan dari berbagai pihak.

Salah satu tokoh Islam yang menolak gagasan NKRI Bersyariah tersebut adalah pengasuh Pondok Pesantren Tebuirang, KH. Shalahudin Wahid atau Gus Solah. Ia berpendapat, tidak perlu ada istilah NKRI bersyariah. Alasannya, tanpa embel-embel syariah, syariat Islam sudah berjalan di Indonesia. 

Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang biasa disapa Gus Solah itu menjelaskan, dulu UUD 1945 mengandung kata syariah yakni "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". 

Tujuh kata itu, kata Gus Sholah, dicoret menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Sehingga sekarang tidak ada lagi istilah NKRI bersyariah. 

Senada dengan Gus Sholah, Ketua Dewan Pimpinan PKB Abdul Kadir Karding yang menolak seruan NKRI Syariah karena konsep dasar bernegara Indonesia sudah final dan tak perlu embel-embel. 

Meski kerap berkoar-koar soal agama dan Tuhan, tapi dasarnya PA 212 itu sedang berpolitik. Kelompok yang beranggotakan FPI dan HTI itu terlihat secara gamblang berpolitik saat menawarkan dukungan dengan kontrak politik. Hal tersebut pernah sukses di Pilkada DKI 2017 namun gagal di Pilpres 2019. 

Keberadaan PA 212 ini berpotensi memecah belah kerukunan antar umat beragama yang sudah terjalin erat. Mereka aktif memprovokasi umat agar membenci pemerintah, bahkan mengampanyekan menolak hasil Pilpres 2019 dan tidak mau mengakui Presiden hasil Pilpres 2019.

Untuk itu, jangan pernah tertipu dengan mereka yang berpolitik dengan jubah agama. Tujuan dan kepentingan mereka sebenarnya sama saja, hanya seolah terlihat suci. 

Itulah esensi dari politisasi agama.

Mencari Titik Temu, Prabowo Gelar Pertemuan dengan Petinggi PPP




Hubungan Partai Gerindra dengan koalisi partai politik pendukung Presiden Jokowi semakin cair setelah beberapa kali ada pertemuan. Ada semacam titik temu diantara mereka untuk pemerintahan ke depan.

Apalagi, Gerindra baru saja selesai pertemuan dengan para petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di kediaman Ketua Umum Prabowo Subianto, Jalan Kertanegara IV, Jakarta.

Dalam pertemuan tersebut, Prabowo mengatakan bahwa harus dipisahkan masalah teknis terkait koalisi. Khusus eksekutif, itu menjadi kewenangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Sedangkan, mereka sebagai partai politik bisa mencari titik temu yang bisa membawa kerja sama. Masih banyak tempat, diantaranya, legislatif, MPR, atau ranah lainnya. 

Pertemuan itu diakui Prabowo guna menyambung komunikasi politik dan persahabatan. 

Di sisi lain, Prabowo juga sedang bermanuver melalui berbagai cara untuk menjajal masuk di koalisi pemerintahan Presiden Jokowi dengan serangkaian komunikasi politik melibatkan sejumlah tokoh. 

Tak masalah bagi kita apabila Gerindra mau bekerja sama membangun bangsa dan negara. Yang kelabakan dan kepanasan adalah para penumpang gelap. 

Mereka yang telah memiliki agenda politik sendiri, pasti akan gusar. Pertemuan Prabowo dan tokoh pendukung Jokowi menutup peluang mereka untuk mewujudkan negara-agama.

Kita dukung rekonsiliasi dan kerja sama antara anak bangsa demi Indonesia yang Maju, Adil dan Makmur ke depan.

Sebarkan Hinaan dan Ujaran Kebencian, Eks Pentolah HTI Jatim Dijebloskan Penjara




Meski secara organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah dibubarkan, namun kelakuan aktivisnya tetap sama saja. Mereka kerap memprovokasi, menghina, dan menyebarkan kebencian di media sosial,

Alhasil, banyak mantan anggota mereka yang terjerat kasus hukum. Salah satunya Eks pentolan HTI Jatim, Heru Ivan Wijaya.

Ia akhirnya dijebloskan ke penjara karena menjadi tersangka kasus ujaran kebencian terhadap Banser NU.

Kasus ujaran kebencian ini bermula dari status Heru di facebook yang diunggah 17-21 Juni 2018 menggunakan akun heruivan123@gmail.com. Berikut isi status yang diunggah Heru.

"Mengapa HTI dihadapkan melawan banser? Karena hanya banser yang bisa dipakai untuk menggebuk saudara seiman". 

Kemudian tanggal 18 Juni 2018 "PBNU, BANSER, ANSOR tegakkan hukum Allah tinggalkan pertemanan dengan teroris Yahudi". 

Sementara status pada 21 Juni 2018 "setelah lama berinteraksi di dumai dari semua teman FB saya yang menyerang ide KHILAFFAH ternyata ada 2 aktifis ISIS dan pemuda NU".

Akibat unggahan statusnya tersebut, eks pentolan HTI Jatim itu dilaporkan ke polisi oleh Ali Muhammad Nasir, Ketua Cabang GP Ansor Kabupaten Mojokerto pada 23 September 2018. 

Oleh polisi, Heru lantas ditetapkan sebagai tersangka karena dinilai melanggar Pasal 45A juncto Pasal 28 ayat (2) UU RI No 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 11 tahun 2008 tentang ITE.

Heru Ivan Wijaya adalah salah satu contoh kaum radikalis yang berusaha menyerang pihak-pihak yang berseberangan dengan ideologinya dengan membentuk opini buruk di media sosial dan memprovokasi masyarakat. 

Inilah bukti bahwa mereka masih menjalankan aktivitas propaganda dan menghasut di media sosial, meskipun organisasinya telah dilarang oleh pemerintah. 

Oleh karena itu, masyarakat harus berhati-hati menggunakan media sosial dan tidak terpancing melakukan provokasi yang akhirnya merugikan diri sendiri.

Rabu, 14 Agustus 2019

Tak Masuk Akal, Usulan Penambahan Kursi Pimpinan MPR oleh PAN Ditolak Rame-Rame





Baru-baru ini, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay mengusulkan soal penambahan jumlah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dari 5 kursi menjadi 10 kursi untuk meredakan ketegangan antar partai.

Tentu saja, usulan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mendapat kecaman dari berbagai pihak. Usulan itu memang tak realistis, juga tak penting. 

Partai Golkar menolak usulan PAN tersebut. Politikus Golkar Bobby Rizaldi mengatakan, partainya tetap mendukung formasi pimpinan MPR sesuai UU MD3 yang berlaku saat ini. 

Menurut mereka, penambahan pimpinan MPR menjadi 10 tidak ada kepentingannya untuk rakyat, termasuk dengan efektifitas kerja. 

Sebaliknya, UU MD3 saat ini justru sudah memenuhi asas proporsionalitas dengan merampingkan kembali jumlah pimpinan yang tadinya 8 menjadi 5 kursi.

Politikus Golkar lainnya, Ace Hasan Syadzily juga kurang setuju jika aturan dalam UU MD3 tersebut harus kembali direvisi sebelum diterapkan. 

Karena aturan tersebut baru diamandemen melalui UU MD3 yang disahkan tahun 2018 lalu. Tak elok rasanya jika UU baru diamandemen dan belum dilaksanakan kemudian diamandemen kembali.

Sedangkan, politikus PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno, juga menginginkan pemilihan pimpinan MPR tetap berdasarkan UU MD3 yang baru saja direvisi. Menurutnya, pemilihan Ketua MPR memang tidak bisa ditambah atau dikurangi begitu saja. 

Semuanya harus mengacu pada UU MD3 sebagai landasannya. Karena beleid yang sekarang sudah berdasarkan asas proporsionalitas. 

Terlebih lagi UU tersebut sudah dua kali diubah. Jangan sebentar-sebentar diubah hanya untuk mengakomodasi libido politik.

Sekjen Partai Nasdem Johny G Plate menyatakan bahwa pihaknya saat ini belum terpikir untuk merevisi UU MD3. Pihaknya masih berkomitmen untuk melaksanakan UU MD3 yang sudah disepakati bersama.

Dengan pendapat berbagai tokoh di atas, dapat dipastikan usulan dari PAN itu akan mental. Karena usulan itu dinilai tak realistis dan penting untuk rakyat.

Substansi usulan itu pun juga lebih menggambarkan libido PAN untuk mendapatkan kursi kekuasaan dibandingkan memperjuangkan kepentingan rakyat luas. Usulan penambahan kursi pimpinan MPR hanyalah cara agar mereka mendapatkan salah satunya. 

Sudahlah, jangan tipu-tipu rakyat lagi. Kita sudah paham dengan cara bermain mereka yang lebih mementingkan persoalan kelompoknya dibandingkan urusan rakyat

Pertemuan Prabowo, Megawati dan Jokowi, Inilah Romantisme Tokoh Bangsa Indonesia



Hubungan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tengah membaik. 

Akhir-akhir ini, sinyal kedekatan antara petinggi PDI Perjuangan dan Gerindra itu terlihat dari dua momentum, yakni pertemuan Megawati dan Prabowo di Teuku Umar, dan saat Kongres ke-V PDI Perjuangan di Bali. 

Plus, pertemuan Prabowo dan Presiden Jokowi yang juga kader PDI Perjuangan di Jakarta sebelumnya. 

Rekonsiliasi antara tokoh bangsa di atas menunjukan sinyalemen positif bagi demokrasi Indonesia pasca Pilpres 2019. Para elit tersebut memperagakan sikap politik yang dewasa, meskipun pernah berkontestasi dalam Pemilu.

Hal ini semoga membawa keteladanan hingga ke akar rumput. Bahwa perbedaan politik jangan sampai merusak hubungan personal. 

Bagaimanapun, pertemuan antara Prabowo dengan Megawati dan Jokowi patut disyukuri. Hal ini adalah bentuk tanggungjawab dari para negarawan demi utuhnya NKRI.

Apalagi sebelumnya, pihak-pihak yang ingin merongrong Pancasila atau penumpang gelap berusaha memprovokasi agar permusuhan dan kebencian terus dikobarkan diantara para elit dan masyarakat Indonesia. 

Para penumpang gelap itu yang akhirnya kebakaran jenggot karena pertemuan tokoh di atas. Mereka kehilangan momentum untuk mewujudkan agendanya sendiri. 

Inilah romantisme para tokoh bangsa. Pertemuan itu harus membawa semangat baru untuk persatuan Indonesia.

Taktik Pecah Belah Koalisi Jokowi, Partai Nasdem Jadi Sasaran Tembak





Dinamika pasca Pilpres 2019 mungkin agak membingungkan bagi masyarakat awam. Pasalnya, mereka yang dulu musuhan tiba-tiba berkawan, sebaliknya yang dulunya berkoalisi tiba-tiba bermusuhan. 

Dinamika ini tak lepas dari sikut-sikutan adu kepentingan pasca Pilpres. Setiap pihak berusaha mengamankan kepentingannya masing-masing. 

Diduga kuat ada pihak yang ingin mendulang untung dari koalisi pemerintahan Presiden Jokowi. Upaya pecah belah pun tak terelakkan. Sekarang targetnya adalah Partai NasDem. 

Dari rentetan peristiwa saat ini, ada indikasi upaya untuk memecah NasDem dan PDI Perjuangan. Mereka juga berupaya menjauhkannya dari koalisi Jokowi.

Diantaranya, 
a. Pernyataan Kapitra, politisi yang kini duduk di PDIP yang mendesak NasDem jadi oposisi lantaran dinamika politik yang dilakukan Nasdem karena tidak setuju Gerindra bergabung di koalisi. Ini bukan kebijakan PDIP, melainkan omong kosong di Kapitra. Artinya ada kepentingan Kapitra yang berhubungan dengan Gerindra.

b. Politikus Partai Gerindra, Andre Rosiade dengan terang menantang dan menghantam NasDem dengan menyebutnya kebakaran jenggot dan penumpang gelap. Si botak Andre ini rupanya dengan licin ingin menjegal NasDem dan mau jadi penumpang gelap seandainya Jokowi menggandeng Gerindra.

c. NasDem diserang soal dijamunya Anies Baswedan oleh Surya Paloh. Politisi PSI lantang berkoar dan bereaksi atas pertemuan tersebut. Padahal dukungan Surya Paloh ke Anies hanya sebatas dukungan sebagai Gubernur tapi oleh para wartawan digiring ke dukungan sebagai Capres.

Ketiga hal ini menunjukkan bahwa memang ada pihak yang ingin mendulang untung dengan menyerang NasDem dan mencoba memisahkan NasDem dengan Jokowi ataupun dengan Mega. 

Skenarionya, jika koalisi Jokowi mau menceraikan NasDem dan menggandeng Gerindra, maka partai pimpinan Prabowo Subianto itu akan melancarkan aksi untuk memasukkan orang-orangnya ke dalam kursi menteri.

Harus diakui, semua skenario di atas memang soal kursi kekuasaan. Jadi, meskipun Pilpres sudah selesai, sikut-sikutan untuk mendapatkan kue kekuasaan itu belum selesai.

Kita harus peka melihat kondisi di atas.

Koreksi Rekomendasi Ijtima Ulama, Siasat Basi Haikal Hassan Kelabui Publik




Lagi-lagi, kelompok Islam radikal yang mengusung Ijtima Ulama ke-IV meralat rekomendasinya sendiri. Tetapi jangan salah, hal itu hanyalah sekadar taktik untuk menyiasati penolakan publik saja.

Kasus seperti itu, misalnya, terlihat saat Anggota Gerakan Nasional Pembela Fatwa Ulama (GNPF-U) Haikal Hassan menanggapi salah satu poin keputusan dari ijtimak ulama IV yang menolak pemerintahan terpilih.

Menurutnya, maksud dari poin tersebut bukanlah menolak secara terbuka, namun lebih pada menjaga jarak. Artinya dari poin tersebut, ulama memantapkan menjadi oposisi dan akan memantau proses jalannya pemerintahan oleh pejabat terpilih saat ini.

Apa yang dilakukan Haikal Hasan itu sebenarnya hanya cara basi untuk menyiasati penolakan publik dengan mengoreksi hasil rekomendasi Ijtima Ulama. 

Sebelumnya, mereka juga mengagendakan NKRI bersyariah, namun kini pengertiannya dibuat seolah ramah terhadap Pancasila. Padahal tujuannya jelas mendirikan negara khilafah. 

Kemudian, mereka juga menolak mengakui pemerintah hasil Pilpres 2019 karena dianggapnya penuh kecurangan dan kedzaliman, tetapi kini diralat menjadi 'mengambil jarak dengan Pemerintah.'

Koreksi yang dilakukan Haikal Hasan ada kaitannya dengan wacana mereka ingin mendirikan Parpol. Mereka pasti sangat paham tentang syarat berdirinya sebuah partai. 

Sementara, jika mereka mengusung kilafah dan menarik Pancasila seolah-olah tunduk kepada Syariat Islam, bisa jadi akan menjadi batu sandungan ketika mendaftarkan partainya di Kemenkumham.

Kita tahu, Haikal Hasan ini sedang mencari cara untuk mengurangi tekanan dari masyarakat dan meredam klaim kontroversial agar agenda pendirian Parpol berhasil mendapat pengakuan dari Pemerintah. 

Percayalah, publik tidak akan terkecoh oleh siasat busuk mereka, karena ibarat cacat yang berupaya disembunyikan, tetapi pasti tetap saja akan muncul seiring berjalannya waktu. 

Publik tidak akan lupa bahwa mereka adalah kelompok ormas radikal, pengusung khilafah, dan aksi-aksinya selalu mengarah pada penegakan Syariah Islam. Mereka itu yang nyata-nyata ingin mengganti Pancasila dan NKRI. 

Jadi, masyarakat sebaiknya jangan tertipu dengan segala manuvernya.

Ingin Bodohi Publik, PA 212 Sebut Konsep "NKRI Bersyariah" hanya Istilah




Kebodohan kembali dipraktikan oleh gerombolan radikal yang mengusung Ijtima Ulama ke-IV. Mereka sebenarnya berusaha menipu publik mengenai konsep 'NKRI Bersyariah'.

Setelah salah satu rekomendasi Ijtima Ulama ditentang publik, terutama terkait dengan perwujudan "NKRI Bersyariah", Ketua PA 212 Haikal Hassan Baras tiba-tiba meralat maksud konsep tersebut. 

Ia menyebut konsep itu hanya sebuah istilah saja. Menurutnya, NKRI Bersyariah tidak mempertentangkan syariah dengan Pancasila. 

Padahal sebelumnya, mereka yakin bahwa menegakan khilafah adalah kewajiban umat Islam. Oleh karena itu, mereka mengajukan konsep 'NKRI Bersyariah".

Apa yang dikatakan Haikal Hassan tersebut pada dasarnya hanya teknik "ngeles" saja. Karena ika hanya sebuah istilah, maka tidak akan ada penerapannya. 

Jika tidak ada penerapannya, untuk apa gerombolan tidak tahu malu dan ngotot untuk terus mengusung NKRI bersyariah. Jelas-jelas bahwa konsep itu sangat ideologis. 

Kita harus yakin, NKRI bersyariah ini sebenarnya tidak bisa diterapkan di seluruh NKRI. Karena justru mengesampingkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. 

Hal tersebut justru akan membuat gaduh di negara NKRI, karena memaksa orang lain membeli produk agama yang mereka  jual. Padahal masyarakat Indonesia ini sangat beragam, tak hanya menganut agama Islam saja.

Bagaimanapun, kita tak akan percaya dengan apa yang diucapkan oleh Haikal Hassan di atas. Kita juga tentu akan menolak konsep 'absurd' NKRI Bersyariah sebagaimana yang mereka ajukan. 

Tak ada tempat bagi konsep ideologi selain Pancasila di tanah Indonesia. Karena hanya itulah yang mampu menyatukan seluruh keberagaman masyarakat Indonesia.

Jumat, 09 Agustus 2019

Politisasi KH. Maimoen Zubair, Haikal Hassan Sebarkan Informasi Hoaks di Media Sosial



Kematian ulama besar KH. Maimoen Zubair tak luput dari politisasi sejumlah pihak. Salah satunya dilakukan oleh anggota Presidium Alumni 212, Haikal Hassan Baras.

Dalam cuitannya di Twitter itu, Haikal Hassan menyebut bahwa Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab yang memimpin doa di makam Kiai Haji Maimun Zubair alias Mbah Moen.

Tak hanya itu, dia juga menyindir soal ralat doa dan bagi-bagi amplop untuk menyindir kejadian pada masa Pilpres lalu. 

"Mbah Mun wafat, Semoga Allah ampuni semua kesalahannya. Yang imam salat, Habib Muhammad al Hadad, yang pimpin doa Habib Rizieq Shihab, yang baca talqin Habib Hanif Alatas. Ke mana yang ralat doa, ke mana yang bagi-bagi amplop, ke mana yang maksa-maksa? Dahsyatnya aturan Allah," begitu cuit Haikal Hassan.

Anehnya, Haikal Hassan itu ternyata tak kuat menahan bullyan warganet. Setelah diketahui bahwa isu Rizieq Shihab memimpin doa itu bohong (hoaks), dia buru-buru menghilangkan jejaknya. 

Haikal Hasan memblokir akun penyanggah tersebut dan menghapus cuitan yang dipostingnya. Artinya ia menyadari bahwa tindakannya salah. Dan untuk menghilangkan bukti dirinya melakukan pembohongan publik, maka Haikal Hasan menghapus cuitan tersebut.

Diakui atau tidak, sampai saat ini Haikal Hasan masih terus memprovokasi umat, bahkan dengan mempolitisasi wafatnya kiai kharismatik, Mbah Moen. 

Tindakan ini sungguh bejat dan menunjukan rendahnya kualitas adab seorang Haikal Hassan. Tak semestinya wafatnya ulama besar seperti Mbah Moen itu dipolitisasi untuk kepentingannya sesaat.

Oleh karena itu, umat Islam jangan mau dibodohi oleh orang-orang seperti Haikal Hasan yang mengaku ulama, tapi kerap menyebarkan kebohongan publik. Sungguh memalukan.

Serobot Doa di Pemakaman KH. Maimoen Zubair, Rizieq Shihab Tak Tahu Diri



Kematian ulama besar seperti KH. Maimoen Zubair tak luput dari politisasi kelompok 'salah paham' di Indonesia. Seperti narasi yang berkembang di media sosial bahwa Habib Rizieq yang memimpin pembacaan doa pemakaman Mbah Moen. 

Dubes Indonesia untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel menyanggah narasi itu dan bahkan menyebut Habib Rizieq melakukan penyerobotan doa.

Keterangan Agus Maftuh ini mungkin sudah cukup menggambarkan adab Rizieq Shihab yang tak mengerti tata krama dan etika. 

"Saya lihat MRS (Muhammad Rizieq Shihab) memang hadir sejak awal dan berkerumun di lubang yang salah. Saya tahu nomer lubang karena yang mengurus di Provinsi Mekah adalah tokoh NU Saudi yaitu, KH Dr Fahmi, Dr Fahmi lah yang menemui pejabat provinsi Mekah dan dipastikan Mbah Moen dimakamkan di posisi yang sangat strategis di kompleks Ma'la"

"Saya terlempar ke arah kiri dan Kiai Syarif terlempar ke kanan. Terjadi saling rebut jenazah sebelum dimasukkan ke liang pemakaman. Nah setelah selesai pemakaman, saya lihat ada orang yang membacakan talkin tanpa diminta. Dalam tradisi NU, kalau ada kiai besar wafat jarang ditalkin, dan kalaupun ditalkin harus dilakukan oleh seorang kiai yang selevel. Sebenarnya ini sangat tidak etis dan 'kewanen' terlalu berani dan su'ul adab (tak etis), apalagi talkin-nya model 'reguler',"

"Selanjutnya tanpa aba-aba, Habib MRS membacakan doa dengan suara keras di tengah kerumunan jemaah. Setelah itu baru saya bisa masuk ke kerumunan bersama Bapak Menteri Agama dan kemudian kita berdoa bersama-sama untuk Mbah Moen dan Pak Menag berpesan kepada kita untuk selalu meneladani Mbah Moen,"

"Ini yang saya sebut sebagai 'ketidak-etisan'. Meski saya muda saya ini jadi Bapak seluruh WNI yang ada di Arab Saudi dan saya sebagai shohibul bait (yang punya hajat). Saya heran ada orang tanpa koordinasi dengan shohibul bait memposisikan diri sebagai pembaca doa,"

"Dalam tradisi NU, ulama kalau disuruh berdoa masih memakai budaya ewuh-pekewuh, yang senior biasanya yang didorong untuk berdoa dan kiai-kiai yang junior mendampingi. Lha ini kok ada yang main serobot doa tanpa izin shahibul bait yang punya tanggungjawab mulai proses perizinan sampai pemakaman seorang yang sangat dihormati oleh Umat Islam di Indonesia khususnya Nahdlatul Ulama. Ini tak etis dan tidak dikenal dalam tradisi pesantren,"

Setelah mengimak itu, kita jadi tahu seperti apa kelakuan Rizieq Shihab kan? Demi panggung, dia tak menggubris tata krama diantara santri dan Kiai. Akhlaknya benar-benar su'ul adab (buruk).

Ulah Rizieq yang menyerobot doa di pemakaman Mbah Moen mungkin karena dia merasa sok penting, atau sedang mencari perhatian saja. 

Padahal, jika dibandingkan dengan Mbah Moen, seorang ulama kharismatik yang berkomitmen tinggi soal dakwah dan kebangsaan, Rizieq Shihab bukanlah apa-apa. Tidak level, tidak tau adab, dan banyak tingkah. 

Dasar orang tidak tahu diri.

Nasib Amien Rais pasca Pilpres 2019, Dari People Power menuju Powerless



Nasib tragis menghampiri Amien Rais di sisa-sisa umurnya yang makin pendek. Dia berlari kesana-kemari, tanpa prinsip, hanya demi ambisi pribadi. 

Bagi Amien Rais, lompat posisi dalam politik bukan perkara berat. Ia bisa saja berganti haluan dengan seketika, asalkan itu menguntungkan kepentingannya sendiri.

Misalnya, Amien dulu paling lantang berteriak jika Prabowo harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM pada Mei 1998. Namun kini, si kakek tua ini dua kali mendukung Prabowo menjadi calon presiden.

Kemudian, saat kerusuhan 21-22 Mei lalu, dia menuduh Polisi ugal-ugalan seperti PKI. Namun setelah ada klarifikasi dari pihak kepolisian, dia sejurus kemudian menarik pernyataannya.

Tak hanya itu, beberapa waktu lalu, Amien teriak-teriak people power jika Prabowo tidak dimenangkan oleh KPU. Namun kini si kakek tua ini meminta power sharing kepada pemerintahan Jokowi.

Itulah sekelumit kisah perjalanan Amien Rais yang inkonsisten dan pragmatis. Meski bergelar Profesor politik, namun dia sendiri tak mencerminkan laku politik yang benar.

Panggung politik memang penuh dengan intrik, kebenaran sejati harusnya kebenaran yang konsisten. Sikap plin-plan Amien Rais ini menandakan bahwa dirinya memang jauh dari kebenaran itu sendiri.

Bahkan terakhir ini, nasib Amien Rais semakin mengenaskan. Setelah junjungannya kalah, dia juga akan ditendang oleh kawannya sendiri. 

Ya, PA 212 berencana untuk mendepak Amien Rais dari jabatan Dewan Penasihat. Melalui Ijtima Ulama ke-IV, mereka akan membersihkan nama-nama yang dianggap plin-plan, dalam konteks ini Amien Rais termasuk.

Amien Rais dinilai telah mencederai PA 212 lewat pernyataannya perihal power sharing 55-45 terhadap partai koalisi Presiden Jokowi. 

PA 212 tidak bisa menerima pernyataan tersebut termasuk pernyataan Amien Rais yang mengelompokkan partai Allah dan partai setan.

Jadi nasib Amien Rais ini mengenaskan. Bila dulu dia menyerukan people power, sekarang dia justru powerless (tanpa kekuatan alias tak berdaya). Bagaimana nasib gelandangan politik ini ke depannya? 

Harapan kita sederhana saja. Semoga dia bisa menurup mata dengan tenang saja. Tak lebih.

Kamis, 08 Agustus 2019

Suryo Prabowo Berpisah Jalan, Ia Tolak Rekomendasi Ijtima Ulama ke-IV




Perpecahan tak terelakkan terjadi di kalangan mantan pendukung Prabowo-Sandi. Pasalnya, sejumlah pihak telah menunjukan agenda utamanya untuk mewujudkan paham khilafah.

Hal itu terlihat dari kelompok-kelompok Islam radikal, seperti PA 212, FPI dan HTI. Melalui Ijtima Ulama ke-IV mereka terang-terangan untuk mewujudkan NKRI Bersyariah berdasarkan Pancasila dan menyebut penegakan khilafah sebagai kewajiban umat Islam. 

Kontan saja hal tersebut menuai banyak orang beringsut, termasuk Letjen (Purn) Suryo Prabowo. Ia yang dulu satu gerbong dengan mereka langsung menarik garis demarkasi dengan PA 212, FPI dan HTI.. 

Rekomendasi Ijtima Ulama ke-IV itu ditentang keras oleh Surya Prabowo. Padahal, dirinya dulu digaung-gaungkan sebagai jenderal topnya kelompok kampret. 

Penolakan Suryo Prabowo atas rekomendasi Ijtima Ulama tersebut bisa dilihat di akun Instagram dirinya @suryoprabowo2011. Dalam sebuah postingan, Suryo mengatakan, "Kalau seperti ini saya sih ENGGAK banget deh, sueer" sambil merujuk video pembacaan rekomendasi oleh perwakilan PA 212.

Inilah perbedaan politik yang tak bisa ditolerir oleh Suryo Prabowo. Meski dulu sama-sama mendukung capres-cawapres 02, tetapi kalau sudah menyangkut ideologi dan dasar negara Suryo Prabowo tegas.

Kini, dia berpisah jalan karena menolak keras paham khilafah. Itulah agenda utama yang dulu disembunyikan oleh kelompok Islam radikal tersebut. 

Namun sayangnya, penolakan paham khilafah itu dilakukan Surya Prabowo bukan saat Pilpres lalu, dimana banyak orang-orang pro khilafah berkumpul di kubu Prabowo. 

Artinya sangat jelas, bahwa ketika butuh suara pembenci Jokowi, Surya Prabowo tidak menolak bahkan tidak anti dengan mereka. Tetapi setelah kubu mereka kalah, Suryo Prabowo pun ikutan loncat gerbong.

Inilah drama politik dari para pemain yang memiliki banyak muka.

Minggu, 04 Agustus 2019

Layakkah Kita Ikuti Kata-Kata Ulama Gadungan Seperti Tengku Zulkarnain?




Baru-baru ini, wacana mengenai pembubaran Front Pembela Islam (FPI) menguat di masyarakat. Seturut dengan itu, beberapa pihak pun memberikan respon.

Diantara mereka yang terus menerus membela FPI adalah Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Tengku Zulkarnaen. 

Ia menganggap FPI ini adalah aset bangsa Indonesia, oleh karenanya sudah selayaknya diberikan surat keterangan terdaftar oleh pemerintah. 

Mendengari itu, apakah kita lantas percaya? Mengingat rekam jejak Tengku Zulkarnain sendiri yang banyak cacatnya. 

Bagaimana tidak, meskipun mengaku sebagai ulama, banyak kelakuan Tengku Zulkarnain yang tidak terpuji. Bahkan dia kerap membuat pernyataan kontroversial yang terbukti salah di masyarakat.

Ada beberapa kasus yang menunjukan Tengku Zulkarnain tak pantas disebut ulama. Diantaranya, 

Pertama, Tengku Zulkarnain memfitnah bahwa pemerintah telah membuat pasal yang akan melegalkan perzinahan. Dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Ustadz Tengku mengatakan pemerintah akan menyediakan kondom bagi pemuda atau pelajar yang ingin melakukan zina. 

Hal ini jelas keliru dan fitnah karena dalam RUU tersebut tidak ada pasal sebagaimana diucapkan Ustadz Tengku Dzulkarnain.

Kedua, Januari lalu, Tengku Zulkarnain menyebarkan hoaks tentang tujuh kontainer surat suara yang telah dicoblos. Fitnah yang disebarkan Ustadz Tengku Dzulkarnain belakangan terbukti tidak benar. 

Setelah diklarifikasi, Ustadz Tengku menyebut cuitannya di twitter sebagai permintaan klarifikasi.

Ketiga, sering mengungkapkan ujaran kebencian di media sosial. Sebagai wakil dari MUI, seharusnya Tengku Zulkarnain bisa memberikan teladan  dengan mengeluarkan perkataan yang baik dan tidak asal bicara.

Keempat, Tengku Zulkarnain sering salah dalam memberikan pengajian agama. Beberapa kesalahan itu di antaranya, salah mentashrif kata "kafir". 

Kemudian menyebut bahwa tembakau berasal dari kencing iblis. Setelah dilakukan analisa, ternyata hadis yang digunakan adalah hadis palsu atau hadis tertolak. Sebagai ulama seharusnya, Ustadz Tengku bisa lebih berhati-hati bicara agama.

Setelah beberapa kasus di atas, sekarang Tengku Zulkarnain membela mati-matian FPI agar lepas dari tuntutan masyarakat agar dibubarkan. Ini mungkin akan menjadi kesalahannya untuk kesekian kali.

Ia sesumbar mau ikut mendampingi FPI yang jelas-jelas menjadi ormas radikal dan anarkis. 

Wajar saja ia berlaku demikian, karena sejatinya dia menjadi bagian dari kelompok pembenci pemerintahan Presiden Jokowi. Sehingga sangat wajar bila ingin terlihat sebagai pahlawan FPI yang berada di garis terdepan melawan Pemerintah.

Itulah kelakuan Tengku Zulkarnain, seorang bermulut kasar dan berkelakuan bejat namun mengaku sebagai ulama.

Inginkan Jatah Kursi, Inilah Manuver Politik Partai Nasdem



Dinamika politik terus menggeliat pasca kemenangan Joko Widodo di Pilpres 2019. Sejumlah partai bermanuver untuk meningkatkan daya tawarnya di hadapan Presiden.

Hal ini seperti yang dilakukan oleh Partai Nasdem. Partai pimpinan Surya Paloh tersebut terlihat beberapa kali menggelar pertemuan dengan sejumlah tokoh untuk mengirim 'sinyal' ke Presiden Jokowi dan PDI Perjuangan. 

Sebagai contoh, manuver politik Nasdem terlihat dalam pertemuan empat ketua umum partai politik koalisi Jokowi. Sebagai informasi, pertemuan empat ketum partai itu dihelat di DPP Nasdem, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.

Manuver dilanjutkan dengan langkah Ketua Umum Nasdem Surya Paloh bertemu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Bahkan, seusai pertemuan Surya Paloh menyinggung kemungkinan mendukung Anies di Pilpres 2024.

Meski bermanuver seperti itu, Partai Nasdem tak benar-benar berani untuk menjadi oposisi. Tetapi ereka melakukan manuver politik demi kepentingan partainya. Terutama, berkaitan dengan jatah mendapatkan menteri di kabinet Jokowi.

Hal ini seperti penilaian pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun. 

Menurutnya, manuver politik yang dilakukan saat ini hanyalah strategi Partai Nasdem agar mendapatkan jatah kursi kabinet lebih banyak dibanding partai lain.

Kita pun sependapat dengan penilaian tersebut. Partai Nasdem ini tak mungkin berani mengambil langkah nekat untuk menjadi oposisi. Dinamika politik yang terjadi hanyalah soal kuat-kuatan 'bergaining' politik.

Mereka hanya ingin mendapatkan kursi lebih banyak, dan tak ingin jatahnya berkurang jika partai-partai pendukung Prabowo merapat ke pemerintahan.

Bidak catur Surya Paloh kali ini mudah terbaca. Mungkin Presiden Jokowi juga lebih tahu, dan telah menyiapkan antisipasinya. Lihat saja.

Tommy Soeharto, Dalang Ijtima Ulama ke-IV




Persaudaraan Alumni (PA) 212 akan kembali menggelar ijtima ulama edisi IV. Acara ini akan diselenggarakan Senin 5 Agustus pekan depan. 

Ada dugaan kuat bahwa forum ulama yang (katanya) membahas masalah agama dan keumatan tersebut hanyalah kedok. Karena pada dasarnya mereka sedang merumuskan strategi politik pasca kekalahan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.

Pertemuan ini dikait-kaitkan dengan kemungkinan Prabowo dan Gerindra merapat ke koalisi Jokowi. PAN dan Demokrat, dua partai pendukung Prabowo selain Gerindra dan PKS, juga terang-terangan menyatakan ingin bekerja sama dengan Jokowi. 

Dengan kronologi seperti itu, tidak heran ijtima ulama IV dikaitkan dengan upaya merespons pertemuan-pertemuan tersebut. Apalagi Wakil Ketua PA 212 Asep Syarifudin sempat bilang "Prabowo pengkhianat" karena bertemu Jokowi. 

Di balik forum pertemuan itu ternyata ada nama Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Sebagai penerus keluarga Cendana, Tommy menjadi sosok yang tak terpisahkan dengan para preman bersorban yang ingin menjatuhkan Jokowi tersebut. 

Sebelumnya, namanya dikaitkan dengan donatur aksi demo massa yang ingin memenjarakan Ahok, aksi kerusuhan 21-22 Mei dan kini namanya disebut ikut mendanai ijtima' ulama ke-IV.

Isu tersebut bukan pepesan kosong, soalnya lokasi digelarnya Ijtima Ulama ke-IV itu ada di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, Jawa Barat. Hotel tersebut milik Tommy Soeharto.

Meskipun korelasi tersebut sempat dibantah oleh PA 212 dan Partai Berkarya, namun secara historis keduanya memiliki kesamaan ingin menjatuhkan pemerintahan Jokowi. 

Yaitu, Tommy ingin menyelamatkan harta keluarganya, sedangkan PA 212 ingin mengganti negara menjadi khilafah. Kepentingan keduanya pun bertemu.

Tak bisa dipungkiri lagi, dukungan Tommy ke PA 212 dan Ijtima Ulama ke-IV memang berlatar belakang politis. Dan politik selalu berurusan dengan timbal balik.

Dukungan Tommy terhadap Ijtima Ulama ke-IV itu adalah demi menyelamatkan kekayaannya. Mengingat banyak aset keluarganya yang mulai disita negara, seperti Yayasan Supersemar. Kemungkinan besar akan berlanjut ke aset-aset keluarga Cendana yang lan. 

Oleh karena itu, Tommy dan keluarga Cendana lainnya tak terima. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan kepemimpinan Jokowi. Dalam strategi tersebut, PA 212 dan Ijtima Ulama dijadikan tunggangannya. 

Di sini berlaku prinsip, siapa lawan dari lawanmu adalah kawanmu. PA 212 jelas sangat memusuhi Jokowi. Dialah yang dijadikan teman oleh Tommy dan klan Soeharto lainnya. 

Mereka bertemu atas kepentingan yang sama. Sampai di sini, paham?

Ingin Masuk Kabinet Jokowi, Inilah Sikap Pragmatis dan Oportunis Partai Demokrat



Dinamika politik pasca Pilpres 2019 berhasil membuka karakter asli partai-partai di Indonesia. Terutama mana partai yang oportunis dan konsisten.

Setelah Prabowo Subianto kalah, sejumlah pendukungnya pun mulai bermanuver. Beberapa partai sudah siap-siap untuk lompat pagar bergabung ke pemerintahan Presiden Joko Widodo, salah satunya Partai Demokrat.

Sejak awal, partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini memang sangat pragmatis. Ia memang mendukung Prabowo, tetapi dilakukan dengan setengah hati. 

Dukungan tersebut bahkan hampir dicabut dan dialihkan ke kubu lain setelah mengetahui kemungkinan Prabowo-Sandi akan kalah. 

Setelah Pilpres, Demokrat langsung berusaha mendekat ke kubu yang menang, berharap ada manfaat dan keuntungan yang diperoleh. 

Hal itu, misalnya, terlihat dari pernyataan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat, Jansen Sitindaon. Ia secara terbuka menyebut Demokrat pada posisi 'tergantung Jokowi'. 

Menurutnya, jika memang mantan Gubernur DKI Jakarta itu menghendaki ada kader Partai Demokrat yang masuk dalam kabinet, maka partainya akan mendukung pemerintahan. Jika tidak, maka mereka akan mengambil sikap sebagai oposisi.

Pernyataan tersebut terdengar sangat naif dan bersifat oportunis. Seolah-olah Demokrat ini lebih hebat dari yang lain, sehingga Jokowi akan bergantung kepada mereka. 

Padahal tanpa Demorat pun, Presiden Jokowi mampu untuk menjalankan roda pemerintahan. Jadi, Jokowi tak butuh Demokrat, tapi Demokrat amat butuh Jokowi. 

Jatah menteri sebagaimana disampaikan Jansen tersebut hanya bertujuan untuk menaikkan posisi tawar Demokrat saja, terutama setelah mereka hancur di Pemilu 2019.

Politik memang penuh dengan kepentingan, namun Partai Demokrat hendaknya bisa menahan syahwatnya untuk mendapatkan jatah menteri. Mereka harusnya sadar karena pihaknya bukan bagian dari pendukung Jokowi. 

Bagaimanapun, menjadi oposisi tidak tercela. Bahkan, berperan penting dalam kemajuan negara bila dapat menempatkan diri. 

Sebagai partai yang tidak ikut berkeringat dalam memenangkan Jokowi, sudah selayaknya Demokrat konsisten menjadi oposisi saja. Konsisten adalah salah satu kriteria bahwa partai masih punya wibawa dan martabat, tidak oportunis dan pragmatis.

Tak Terbuka, Ada Selisih Nilai Proyek ITF Sunter di Era Kepemimpinan Gubernur Anies




Masalah pengelolaan sampah di Jakarta kembali menghangat. Gubernur DKI Anies Baswedan pun terlihat gagap menanggapi kritikan publik. 

Anies mengklaim telah menginisiasi pengolahan sampah secara modern dengan skema Intermediate Treatment Facility (ITF). Ia sesumbar bahwa proyek yang sedang dikerjakan itu merupakan programnya.

Padahal, kalau kita mau periksa dengan detail, proyek tersebut sudah dimulai sejak tahun 2011 di era kepemimpinan Gubernur Foke. Hal itu kemudian dilanjutkan pada masa kepemimpinan Jokowi, Ahok dan Djarot.

Dengan demikian, Anies pada dasarnya hanya melanjutkan saja. Ia hanya kebagian meresmikan saja, bukan pihak yang menginisiasi apalagi mendaku ITF sebagai "programnya". 

Menariknya, ada perubahan anggaran yang cukup besar dari proyek pembangunan ITF itu di era Anies Baswedan. Hal itu bisa dilihat dari adanya perubahan angka nilai proyekdi era kepemimpinan sebelumnya apabila dibandingkan sekarang.  

Praktisnya, ada kelonjakan nilai proyek di era Anies Baswedan yang tak wajar. Saat diresmikan Anies, nilai investasi pembangunan ITF itu mencapai sebesar US$250 juta atau sekitar Rp3,6 triliun.

Padahal, saat pemenang ditetapkan di era Ahok dulu, nilai proyek tersebut 'hanya' 2,9 triliun. Di sini ada kenaikan nilai proyek yang mencapai 700 miliar rupiah.

Anehnya, Anies Baswedan mengaku tak mengetahui adanya selisih tersebut. Ia hanya berdalih bahwa anggaran itu ditetapkan di era Gubernur Ahok. Padahal, angkanya berbeda jauh.

Hal ini menunjukan bahwa dirinya memang tak berani terbuka dengan proyek tersebut. Lebih jauh lagi, mungkin dia memang tidak mengetahui hitung-hitungan angggaran pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter tersebut.

Dengan membawa-bawa nama Ahok, Anies seperti ingin menyalahkan dan melempar bola panas kepada gubernur sebelumnya karena tidak tahu menahu terkait pembengkakan dana pembangunan ITF itu.

Jadi, prinsip Anies ini gampang ditebak. Kalau ada yang baik-baik akan diklaim sebagai prestasi kerjanya, tetapi kalau ada yang buruk dinisbatkan ke gubernur sebelumnya.

Hal itu dilakukan semata-mata untuk menutupi prestasi kerjanya yang nol besar.