Jumat, 26 April 2019

Data Janggal, Kebohongan dan Kepalsuan Kubu Prabowo Akhirnya Terbongkar


Banyak kejanggalan yang bisa ditemukan dari data hasil Pemilu versi Prabowo-Sandi. Padahal data tersebut dijadikan dasar klaim kemenangan kubu 02 tersebut. 


Sebagaimana diketahui, menurut perhitungan real count, Prabowo-Sandi mengklaim kemenangan hingga 62 persen. Karena itu mereka mendeklarasikan kemenangan hingga lima kali. 


Misalnya, di Lampung. Ternyata, kubu Prabowo-Sandi hanya memasukkan data 30 TPS dari seluruh TPS yang ada di Lampung. TPS-TPS itu pun sebagian besar adalah yang memenangkan Prabowo-Sandi. 


Begitu pula di DKI Jakarta. Dari 40 persen rekapitulasi suara yang masuk, perolehan suara Jokowi-Ma'ruf tidak jauh berbeda dengan real count KPU dan quick count mayoritas lembaga survei. 


Sementara itu, kubu Prabowo-Sandi mengklaim menang di Jakarta. Setelah dilihat ternyata mereka hanya memasukkan 300 TPS dari total keseluruhan TPS. Ini adalah kebohongan kedua.


Terbongkarnya klaim 62 persen suara Prabowo-Sandi memperlihatkan bahwa mereka tidak jujur. Karenanya wajar saja mereka tidak mau transparan mengungkap tentang metode real count dan merahasiakan lokasi tempat real count internal mereka.


Kubu Prabowo telah bermain curang dan menipu rakyat karena jikalau bukan curang, bukan kubu Prabowo-Sandiaga namanya. 


Dengan data seperti itu, kita sangat ragu dengan data Prabowo-Sandi. Untuk itu, hasil yang paling nyata adalah data KPU dan semua pihak harus sabar menunggu pengumuman KPU.

Terbongkar Lagi, Kebohongan Real Count Kubu Prabowo di DIY dan Bali


Kebohongan kubu Prabowo-Sandi terkait hasil Pemilu semakin tak terbantahkan. Hal ini berdasarkan data yang mereka jadikan dasar klaim kemenangan di beberapa daerah. 


Setelah kebohongan kubu 02 terkuak di Lampung, Riau, dan Bangka Belitung, kali ini klaim tanpa dasar terulang untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). 


Pihak 02 mengulang pola kebohongan yang sama. Data yang mereka sajikan jauh dari akurat karena hanya berdasarkan sampel di beberapa TPS (tempat pemungutan suara). 


Skenario yang sama dan selalu diulang, sehingga siapa pun mudah melacak bagaimana kebohongan yang mereka bangun.


Di Yogyakarta, misalnya, berdasarkan suara sah yang masuk di KPU pada Rabu (24/4/2019) pukul 15.00 WIB, terdapat 837.364 suara dengan pembagian 591.776 untuk Jokowi-Amin dan 245.588 untuk Prabowo-Sandi. Namun kubu 02 sudah menyatakan sebaliknya. 


Real count versi kubu 02 menyatakan menang dengan keunggulan 52,70 persen. Padahal, kalau dibuka secara gamblang, real count kubu 02 itu hanya dari 19 TPS dengan jumlah 403 suara. Padahal sebenarnya di Yogyakarta ada 11.700 TPS dengan jumlah pemilih 2.731.874. 


Hal ini menunjukan betapa masifnya  kebohongan yang dibangun oleh kubu 02 sehingga menipu calon yang mereka usung sendiri. 


Apalagi mereka mengatakan menang di Bali. Itu adalah kebohongan besar sebab Bali merupakan kandang PDIP dan kantong suara besar Jokowi. 


Tim pemungutan suara internal kubu Paslon 02 membuat kebohongan yang sangat masif sehingga menipu capres yang mereka usung sendiri. Bayangkan jika Prabowo-Sandi baru menyadari bahwa mereka selama ini ditipu oleh tim mereka sendiri.


Oleh karena itu, sudah benar apa yang disampaikan oleh Wakil Direktur Direktorat Saksi TKN, Lukman Edy bahwa kebohongan demi kebohongan terus disuarakan untuk mempengaruhi pemikiran publik bahwa 02 telah unggul, padahal kenyataannya suara 02 jauh di bawah 01. 


Sebaiknya kubu 02 menghentikan kebohongan di depan publik, sebab kebohongan tersebut akan mudah dipatahkan dengan data nyata di lapangan. Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. 


"Becik ketitik, ala ketara" begitu kata orang Jawa.

PAN Tolak Usulan Pembentukan Pansus Kecurangan Pemilu

Belakangan ini, isu pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Pemilu 2019 mencuat di DPR RI. Usulan itu datang dari Fadli Zon yang diklaim untuk mengatasi masalah kecurangan. 


Namun usulan itu ternyata tak langsung diterima oleh anggota DPR lainya. Bahkan oleh partai-partai pendukung koalisi Prabowo-Sandi sendiri. Salah satunya adalah Partai Amanat Nasional (PAN). 


PAN berposisi tidak sepakat dengan usulan pembentukan Panitia Khusus DPR untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu tersebut. Menurut Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan, pembentukan pansus tersebut tidak relevan. 


Alasannya, tidak ada kecurangan yang masif, terstruktur, dan bersifat nasional terjadi di Pemilu 2019.


Sejauh ini ada mekanisme tersendiri yang diperlukan untuk mengatasi kecurangan Pemilu. Salah satunya melalui jalur Mahkmah Konstitusi (MK).


Waketum PAN itu memastikan bahwa PAN tidak akan bergabung dalam pansus yang diusulkan politikus Partai Gerindra Fadli Zon itu. 


Lebih jauh lagi, PAN menyarankan kepada semua pihak untuk mengikuti aturan yang berlaku. Jika menemukan kecurangan maka diselesaikan melalui jalur MK.


Dengan pernyataan yang tegas tersebut menunjukan bahwasanya ada ketidakkompakan di kubu 02 saat ini. Hal itu berpotensi mengulangi kejadian pecahnya koalisi seperti di tahun 2014 yang saat itu menggunakan nama Koalisi Merah Putih. 


Diakui atau tidak, hal ini semakin menunjukkan bahwa terdapat perbedaan visi dan misi di masing-masing partai pendukung paslon 02. Mereka bukanlah berjuang untuk kepentingan bersama, melainkan demi ambisi kekuasaannya masing-masing.

Dari Bohong ke Bohong, Kubu Prabowo Terus Jerumuskan Diri dalam Jurang Kebohongan demi Ambisi Kekuasaan

 

Kebohongan sekecil apapu pasti akan menjadi besar dan berlipat ganda. Karena untuk menutupi suatu kebohongan, seorang pendusta pasti membutuhkan kebohongan baru lainnya. 


Mungkin seperti itulah yang terjadi pada kubu Prabowo-Sandi saat ini. Mereka terus menciptakan kebohongan demi menutupi kebohongan sebelumnya. 


Betapa tidak, banyak peristiwa yang sepertinya saling terkait, tetapi memiliki fakta yang berbeda, alias mencla-mencle dari pernyataan para pendukung Prabowo.


Pertama terkait deklarasi. Awalnya Prabowo mengklaim menang 55 persen berdasarkan exil poll dan 52 persen menurut quick count. Tetapi tak lama kemudin, data itu berubah. 


Pada deklarasi kedua, Prabowo mengaku menang 62 persen berdasarkan real count internal mereka. Perlu diketahui, deklarasi kemenangan itu sendiri dgelar hingga 5 kali. 


Anehnya, ketika ditantang untuk membuka datanya, mereka selalu berkilah. Hingga saat ini kubu Prabowo-Sandi tidak mau membuka datanya karena alasan keamanan. 


Padahal klaim kemenangan 62 persen tersebut cukup jauh terpaut dengan data quick count lembaga survei, serta real count KPU hingga saat ini. 


Lebih lucu lagi, kebohongan itu sedikit demi sedikit mulai terbongkar. Sebelumnya, Andre Rosiade mengaku bahwa real count internal 02 itu dilakukan di DPP Gerindra dengan mengumpulkan C1 dari saksi-saksi di TPS seluruh Indonesia.


Namun ketika dicek media ternyata tidak ada aktivitas rekapitulasi suara berdasarkan C1. Kemudian setelah dikejar terus, Fadli Zon mengaku bahwa perhitungan suara dilakukan secara berpindah-pindah dengan alasan keamanan. 


Di sinilah letak kebohongannya. Mereka tidak tahu persis di mana penghitungan "real count" itu dilakukan. Jawabannya tentu saja antara mereka memang tidak mau kasih tahu, atau mungkin juga real count itu tidak ada. Tapi sepertinya opsi kedua lebih logis. 


Karena bila perhitungan itu memang benar adanya, mengapa harus ditutup-tutupi? 


Terkait kebohongan itu, dalam hal data, metodologi, dan tempat, sepertinya yang bohong adalah BPN dan tim pemungutan suara internalnya. 


Sementara soal hasil, Prabowo dan publiklah yang dibohongi timnya sendiri. Prabowo sendiri membiarkan kebohongan itu disebarkan ke publik dan menolak percaya kepada situng KPU sendiri.


Karena Prabowo telah menutup mata terhadap kenyataan, maka terjadilah ‘kegilaan’, yaitu deklarasi berkali-kali dan sujud syukur berdasarkan hasil yang tidak jelas.


Inilah ironinya dari kubu Prabowo. Mereka akan terus mereproduksi kebohongan baru demi menutupi kebohongan sebelumnya.

Minggu, 21 April 2019

Berpikiran Waras, Ketua DPP Partai Gerindra Ini Akui Quick Count Tak Pernah Meleset

Meski Prabowo Subianto tak mengakui hasil quick count, namun ada beberapa eksponen Partai Gerindra yang justru percaya dengan hasil perhitungan cepat. Salah satunya adalah Ketua DPP Gerindra, Pius Lustrilanang. 


Politisi Partai Gerindra ini mengakui hitung cepat atau quick count perolehan suara Pilpres yang digelar sejumlah lembaga survei yang kredibel itu belum pernah meleset sejak 2004. Hal ini disampaikan Pius melalui akun twitternya.

 

"Sejak diperkenalkan di Pilpres 2004, QC (quick count) belum pernah meleset memprediksikan secara ilmiah pemenang suatu kontestasi,” kata Pius melalui akun twitternya, Jumat, 19 April 2019.


Pius juga mengatakan, hitung cepat dalam Pilpres 2019 juga berbeda dengan 2014. Kali ini, tidak ada perselisihan perolehan suara di antara penyelenggara penghitungan cepat. Karena semua berkesimpulan sama: Jokowi-Amin menang di kisaran 8-10 persen. 


Meskipun metode hitung cepat punya tingkat akurasi yang tinggi, bukan merupakan hasil resmi. Penghitungan manual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap menjadi acuan menentukan pemenang kontestasi Pilpres.


Oleh karena itu, menurut Pius, deklarasi kemenangan yang dilakukan Prabowo hanya berdasarkan hasil survei internal sebagai sesuatu yang kurang tepat. Apalagi bila diikuti dengan sikap anti-sains dengan menolak hasil quick count. 


Terlepas dari itu, sebaiknya semua pihak menunggu hasil resmi dari "real count" atau penghitungan berjenjang oleh KPU RI mulai dari TPS, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pusat.


Sikap Pius Lustrilanang itu sudah jujur dan benar saat menyikapi hasil quick count. Artinya, dia masih berpikir logis dan memiliki hati nurani. 


Apalagi, sejak 2004 quick count tak pernah meleset memprediksi secara ilmiah pemenang suatu kontestasi. Meski akan lebih bijak, jika semua pihak menunggu hasil resmi dari real count KPU RI.


Para pendukung 02 sebaiknya mengikuti pikiran logis dan sikap waras Pius Lustrilanang ini. Daripada menjadi ikutan gila bersama Prabowo.

Berniat Celakai Prabowo, Partai Demokrat Gertak Amien Rais

Kubu 02 mulai retak pasca Pilpres 2019 digelar. Berbagai tokohnya saling perang urat syaraf menanggapi hasil Pilpres ini. Seperti halnya antara Amien Rais dan Andi Arief. 


Awalnya, Amien Rais menyebut bakal banyak tokoh yang jadi ragu di masa-masa sekarang. Saat ini diketahui tengah berlangsung penghitungan suara hasil Pemilihan Umum 2019.


Menurutnya di masa-masa itu muncul tokoh yang serba bimbang dan ragu dalam menentukan keputusan. Amien bahkan menyebut tokoh dengan perangai seperti itu sebagai pemain aman.


Tersinggung dengan pernyataan tersebut, Wakil Sekretaris Partai Demokrat Andi Arief pun langsung 'ngegas' emosi. Ia memperingatkan Amien Rais agar berhati-hati sebelum menantang Ketua Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 


"Saya berharap Pak Amien Rais tak usah sok jago nantang-nantang SBY. Dulu bukannya Pak Amien baru digertak SBY karena komentar hoaks belaga pilon. SBY punya jalan berbeda dalam menyelamatkan situasi. Saya harap Pak Amien menahan diri. Soal marah semua orang bisa melakukan," begitu cuit Andi Arief melalui akun twitternya @AndiArief_, Jumat (19/4).


Menurut Andi, SBY lebih mengenal sosok calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto ketimbang Amien. Ia mengatakan SBY tidak akan mungkin menyarankan jalan yang membuat celaka Prabowo. 


Oleh karena itu, Andi menyarankan kepada Prabowo agar berhati-hati dengan Amien Rais.


"Kita akan buktikan SBY atau Pak Amien Rais yang akan selamatkan situasi ini. SBY lebih kenal lama Prabowo dan tidak akan pernah menyarankan sebuah jalan yang akan mencelakakan. Pak Prabowo agar berhati-hati dengan jalan yang ditempuh Pak Amien. Saya tahu lama Pak Amien," ujarnya.


Harus diakui, Amien Rais memang sudah bertindak berlebihan dan cenderung provokatif dengan upaya mendelegitimasi instrumen penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu hingga DKPP. 


Amien Rais juga berwatak Sengkuni yang mencoba memprovokasi massa dengan mengajak "people power" bila Prabowo kalah. 


Politikus PAN itu menjadi tokoh yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kondisi delusi Prabowo hingga melakukan sujud syukur hingga tiga kali tetapi tanpa bekal kemenangan pasti. Dirinya adalah salah satu orang yang berada di belakang Prabowo.


Bagaimana seandainya Prabowo nanti kalah? Maka Mantan Danjen Kopassus itu akan kehilangan mukanya. Dan publik mencatat itu sebagai provokasi Amien Rais.

Awas, Prabowo Delusi!

Delusi Prabowo Subianto semakin menjadi-jadi pasca Pemilihan Presiden 2019 ini. Betapa tidak, meski belum ada hasil resmi dari KPU, capres nomor urut 02 itu telah mendeklarasikan dirinya sebagai Presiden hingga tiga kali.


Delusi adalah jenis gangguan mental di mana penderitanya tidak dapat membedakan kenyataan dan imajinasi, sehingga dia meyakini dan bersikap sesuai dengan hal yang dipikirkannya. 


Penderita gangguan delusi meyakini hal-hal yang tidak nyata atau tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Walau sudah terbukti bahwa apa yang diyakini penderita berbeda dengan kenyataan, penderita tetap berpegang teguh pada pemikirannya.


Beberapa kondisi di atas sepertinya sudah ada pada diri Prabowo, dkk. Mereka tak mau mengakui hasil quick count, bahkan menyalahkannya, kemudian mendeklarasikan diri sebagai Presiden RI. 


Kondisi ini diamini oleh pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Prof. Hamdi Muluk. Menurutnya, kengototan Prabowo Subianto yang mengklaim dirinya memenangi Pilpres 2019 dapat berpotensi mengalami gangguan kejiwaan atau delusi. 


Hamdi menilai kecenderungan delusi itu muncul karena Prabowo tak mau menerima kenyataan. Dimana Prabowo mengklaim meraup 77,94 persen suara berdasarkan real count BPN hingga Kamis (18/4) pukul 22.00 WIB. 


Kenyataannya, lembaga survei kredibel jelas-jelas menunjukkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf. Selain itu, real count KPU pun masih memenangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 01 tersebut. 


Gangguan delusi politik Prabowo merupakan penyakit lima tahunan. Deklarasi kemenangan serupa juga pernah dilakukan pada 2014. 


Yang harus dikhawatirkan dan disoroti dari delusi politik Prabowo ini ialah penularan gangguan delusi kepada masayrakat dan pendukung. Jika delusi hanya terjadi pada satu orang tidak masalah. Namun, akan menjadi masalah besar bagi negeri ini ketika banyak orang terjangkiti. 


Kalau bukan delusi, BPN Prabowo-Sandi seharusnya bersikap terbuka dan berani membandingkan hasil real count BPN dengan lembaga survei lainnya. Validitas real count BPN wajar dipertanyakan bila tak pernah ditunjukkan kepada publik.


Itulah kekacauan alam pikir dan mental Prabowo dan pendukungnya. Semoga mereka cepat sehat dan waras kembali, serta mau menerima hasil Pemilu dengan lapang dada atau legowo.

Selasa, 16 April 2019

Kecurangan Terjadi di Hongkong, Surat Suara Sudah Tercoblos 02

Indikasi kecurangan Pemilu terjadi di Hongkong. Hal itu telah ramai beredar di media sosial. 


Kenyataannya, surat suara sudah tercoblos 02. Masyarakat agar waspada dan periksa kembali surat suara di depan petugas, jika cacat langsung kembalikan ke petugas.


Indikasi itu terlihat dari akun twitter @mochamadarip pengunggah video tersebut menulis ” KECURANGAN terjadi di Hongkong, Surat Suara sudah TERCOBLOS #02. Pesan dari saudara kita di Hongkong: 1. Periksa lagi Surat Suara di depan PETUGAS, jika Surat Suara Cacat, kembalikan ke Petugas. 2. Ga apa2… Santai… ”


Kejadian itu menunjukan kubu Paslon 02 sangat panik saat ini. Karena sejak awal antusiasme WNI di LN mendukung Jokowi, sehingga menghalalkan segala cara dan berbuat curang untuk menang. 


Kubu Paslon 02 selalu menuduh Jokowi curang, padahal mereka sendiri yang curang. Kubu Paslon 02 bahkan sengaja membuat hoax kecurangan 01 untuk mendelegitimasi hasil Pemilu. 


Sebenarnya 02 sengaja berkoar-koar 01 curang untuk menutupi tindakan kecurangan kubunya sendiri. Kubu 02 memang picik dan licik.


Oleh karena itu, jangan pernah mau dibohongi dengan siasat licik pendukung Prabowo-Sandi.

Kala Prabowo Akui Kesalahan Mertuanya, Korup dan Otoriter

Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto sempat menyebut kesalahan ekonomi di Indonesia saat ini terjadi bukan semata karena salah Presiden Joko Widodo, tapi juga presiden-presiden sebelumnya. 


Tuduhan tersebut menunjukkan bahwa Prabowo menyalahkan Soeharto dan mengakui kesalahan mertuanya yang merupakan seorang diktator terkorup sedunia abad ke-20.


Sebagaimana diketahui, mantan Presiden Soeharto ditempatkan sebagai Presiden terkorup sedunia berdasarkan temuan Transparency International 2004 dengan total perkiraan korupsi sebesar 15-25 miliar dolar AS.


Beberapa kasus korupsi besar Soeharto, yaitu penggunaan Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden untuk membiayai tujuh yayasan milik Soeharto. 


Diantaranya Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.


Aktivis Indonesian Legal Roundtabel (ILR), Erwin Natosmal Oemar mengatakan berdasarkan hasil penyelidikan PBB, pada abad ke-20 Soeharto adalah diktator paling korup sedunia. 


Soeharto terbukti secara hukum melakukan tindak korupsi, sehingga jika ada Capres yang ingin memberantas korupsi tapi ingin memberikan Soeharto gelar pahlawan itu tindakan kontradiktif. 


Ini adalah penipuan publik dan manipulasi sejarah. Dan Prabowo sudah mengakuinya.

AHY Tegaskan Prabowo Tak Layak Didukung

Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) meminta capaian pemimpin Indonesia terdahulu wajib diapresiasi oleh siapapun.


Menurutnyq, setiap yang dilakukan generasi dahulu wajib diapresiasi segala yang baik, apalagi kalau itu memang terasa oleh rakyat kita. 


Pernyataan AHY itu, saat ditanya komentarnya mengenai pernyataan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto di debat segmen kedua yang mengatakan kebijakan ekonomi Indonesia salah arah.


Pernyataan tersebut merupakan tanggapan dari kekecewaan AHY terhadap pernyataan Prabowo yang menyalahkan Presiden sebelum Jokowi atas kondisi ekonomi RI merupakan hal manusiawi. 


Kader dan simpatisan Demokrat seharusnya tidak lagi memilih Prabowo-Sandi yang tidak menghargai dan mengapresiasi serta berterima kasih kepada SBY.


AHY menilai seorang pemimpin harus bernilai luhur menghargai pengabdian pemimpin sebelumnya yang berjasa untuk bangsa Indonesia dan berterima kasih serta mengapresiasi segala pencapaian para pendahulu. Keberlanjtan itu akan menuntaskan apa yang belum selesai dilakukan di pemerintahan sebelumnya. 


AHY menunjukkan bahwa Prabowo tidak layak didukung oleh siapapun termasuk kader Demokrat. 


Sikap Prabowo itu tidak merepresentasikan sebagai calon pemimpin yang beretika dan berperilaku luhur, sehingga tidak bisa menjadi contoh baik di masyarakat.

Menuju Otoritarianisme, Bocornya Rencana Prabowo Bila Menang Nanti

Watak otoriter Prabowo Subianto semakin kentara. Hal ini terlihat dari laporan jurnalis investigatif, Allan Nairn. 


Dalam laporan yang dirilis di blog terbarunya, Allan Nairn merilis laporan terbaru tentang rancangan skenario Prabowo jika menang di Pilpres 2019. Informasi ini diakuinya berasal dari informasin intelijen Indonesia. 


Dalam laporan itu, Allan menyebut sejumlah skenario yang dirancang Prabowo jika menang dalam Pemilu 2019. Laporan Allan berdasarkan notulensi rapat yang digelar di kediaman Prabowo di Jalan Kartanegara Nomor 4, Jakarta Selatan. Pertemuan ini digelar usai Prabowo bertemu Susilo Bambang Yudhoyono di Mega Kuningan, Jakarta Selatan. 


Pertemuan dihadiri 11 orang dan berasal dari 8 jenderal purnawirawan dan tiga orang sipil, yang disebut Allan dengan mengutip laporan itu sebagai “lingkaran satu” Prabowo. Dalam pertemuan itu, muncul sejumlah kesepakatan. 


Prabowo Subianto telah menyusun rencana untuk melakukan penangkapan massal, baik terhadap lawan-lawan politik maupun koalisinya, tulis Allan. 


Untuk itu, tulis laporan Allan seperti tertulis dalam dokumen yang ia kutip, rapat itu membuat tim untuk melakukan tugas-tugas khusus “mengadili sebanyak-banyaknya lawan politik,” dan “melumpuhkan” kelompok-kelompok Islamis yang menyokong kampanye Prabowo-Sandiaga setelah terpilih sebagai presiden. 


Prabowo telah menyiapkan apa yang diistilahkan Allan sebagai “Malam Pisau Panjang” (istilah yang dipakai sejarawan untuk membersihkan sekutu Hitler di Nazi) untuk mengonsolidasikan kekuasaan sekaligus menyakinkan Washington.


Untuk menjalankan siasat tersebut, Arief Pouyouno (Waketum Gerindra) bertugas menggagalkan gugatan hukum para pekerja Freeport terhadap PT. Freeport. Arief Pouyuono juga salah satu dari tiga orang sipil yang hadir dalam rapat strategis di rumah Prabowo pada 21 Desember.


Untuk mengamankan kebijakan dalam bidang hukum, Prabowo menunjuk sejumlah orang yang bertugas memilih Kapolri, Jaksa Agung dan pimpinan KPK. 


Prabowo juga berencana memperkuat Gerindra dan menugaskan BIN melumpuhkan kelompok Islam radikal yaitu HTI, FPI dan JAD untuk memperlihatkan kepada AS bahwa Prabowo-Sandiaga tegas mengatasi radikalisme serta terorisme. 


Di samping itu, Prabowo juga berencana melumpuhkan partai koalisi oposisi dan menjatuhkan Demokrat serta PKS melalui berbagai kasus korupsi lama maupun baru agar Prabowo terkesan sebagai Presiden yang kuat dan tegas dalam menegakkan hukum. 


Selain itu, Prabowo juga memiliki kepentingan menjatuhkan Demokrat karena dendam politik lantaran SBY memecat Prabowo dari Angkatan Darat setelah Soeharto jatuh.


Dengan laporan dari Allan Nairn itu telah terbukti bahwa Prabowo adalah capres keji yang mementingkan diri sendiri dan menusuk para pendukungnya dari belakang. 


Prabowo akan sangat berbahaya bagi situasi dan kondisi bangsa jika terpilih di Pilpres 2019. Indonesia akan kembali seperti Orde Baru lagi.

Senin, 15 April 2019

SBY Dihina, Kader Demokrat Minta Keluar dari Koalisi 02


Pernyataan calon presiden Prabowo Subianto soal presiden-presiden sebelumnya di debat capres kelima membuat sejumlah kader Partai Demokrat bereaksi. 


Ucapan Prabowo itu dianggap menyerang Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY yang juga presiden RI ke-6. Sejumlah elit Partai Demokrat pun berang. 


Wakil Sekretaris Jenderal Demokrat, Rachland Nashidik, termasuk orang yang mempertanyakan pernyataan Prabowo. "Pak Prabowo sebenarnya sedang berdebat dengan siapa? Kenapa justru Pak SBY yang diserang?" ujar Rachladn dalam Twitter pribadinya.


Tak hanya itu, Kader Partai Demokrat Ardy Mbalembot berteriak-teriak partainya agar keluar dari koalisi pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno saat debat kelima Pilpres 2019 berlangsung. 


Ia berteriak di luar lokasi debat, tepatnya di bagian belakang Golden Ballroom Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4/2019) malam.


"Bilang Pak AHY (Agus Harimurti Yudhoyono, Kogasma Partai Demokrat, Red), kita keluar dari koalisi," kata Ardy malam itu.  Ia teriak seperti itu karena telah dilecehkan dan diserang oleh pernyataan Prabowo.


Kondisi koalisi Prabowo-Sandi tidak kompak dan cenderung ingin menonjol diantara individu satu dengan yang lain. Kondisi ini semakin menunjukkan bahwa koalisi yang dibentuk tak murni berasal dari hati nurani namun mengarah pada kepentingan politis masing-masing golongan. 


Dalam hal ini Demokrat menjadi partai yang tak banyak diuntungkan karena tak memiliki kader unggulan. Ia justru banyak ditikung oleh kepentingan Gerindra.

Kamis, 11 April 2019

Survei Abal-Abal, INES dan Jaringan Orang Gerindra


Survei abal-abal menjadi senjata Partai Gerindra untuk mengerek suara. Melalui Indonesia Network Election Survey (INES) mereka merilis hasil survei yang memenangkan Prabowo sebagai kandidat terkuat Presiden. 


Tahun lalu, lembaga survei ini merilis jika pilres dilaksanakan hari ini, Prabowo akan mengungguli capres pertahana Joko Widodo. Presentasenya, Prabowo meraih 50,20 persen, Jokowi 27,70 persen, Gatot Nurmantyo 7,40 persen, dan tokoh lainnya 14,70 persen.


Bukan hanya Prabowo yang hasilnya moncer di survei. Partai Gerindra yang didirikan mantan Danjen Kopassus tersebut juga meroket. Partai berlambang kepala garuda tersebut memuncaki hasil survei dengan angka 26,2 persen disusul PDI Perjuangan (14,3 persen), dan Golkar (8,2 persen).


Hasil survei tersebut berbeda dengan hasil survei lembaga-lembaga lain dan tendensius kepada kubu Prabowo. Inilah yang anomali. 


Teryata, INES bukanlah lembaga yang netral dan independen. Lembaga survei ini dimiliki oleh Arief Poyuono, Wakil Ketua Umum Gerindra. 


Pendanaan riset-riset mereka juga berasal dari kas Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, yang diketuai oleh Arief. Selain itu, INES juga mendapatkan kucuran dana dari Amerika Serikat. Maka tak aneh bila lembaga survei ini terkesan partisan. 


Ketidaknetralan INES ini juga diakui sendiri oleh mantan Direktur Eksekutif-nya, Irwan Suhanto. Ia mengakui bahwa INES merupakan lembaga survei alat propaganda Partai Gerindra dan Capresnya Prabowo Subianto. 


Ia bahkan mendapat sejumlah tekanan saat memilih mundur mundur dari INES karena tidak mau mengambil risiko atas rencana lembaga itu menjadi alat propaganda Prabowo dalam Pilpres.


Selama ini oposisi selalu menuduh Jokowi antek asing, padahal dengan adanya keterlibatan AS dalam pendanaan INES menjadi bukti bahwa Prabowo-lah yang menjadi antek asing. 


Masih percaya dengan survei abal-abal seperti itu?

Terbongkar, Inilah Skenario Kubu 02 Jatuhkan Jokowi dengan Hoaks Surat Suara Tercoblos di Malaysia


Kasus tercoblosnya surat suara di Selangor Malaysia diduga merupakan rekayasa belaka. Pasalnya banyak kejanggalan yang ditemukan dalam kasus tersebut. 


Diduga kuat tercoblosnya surat suara tersebut merupakan skenario tim sukses Prabowo-Sandi untuk menyudutkan kubu Jokowi-Maruf Amin. Pasalnya, yang dicoblos dalam surat suara itu adalah pasangan nomor urut 01. 


Salah satu kejanggalan yang mencolok adalah soal penggerebekan itu sendiri. Dikabarkan tim sukses 02 menggeberek sebuah ruko di Malaysia yang digunakan untuk mencoblos pasangan 01. 


Tetapi anehnya penggerebekan itu tidak ditemani oleh aparat kepolisian maupun KPU atau Bawaslu. Hal itu dilakukan oleh kader Partai Demokrat dan semua yang ada dilokasi adalah murni pendukung paslon 02. 


Kemudian, surat suara yang tercoblos dikatakan ada di dalam plastik hitam. Namun plastik yang dituding berisi surat suara tercoblos itu tidak dibongkar semuanya.


Kedua, dalam video yang beredar kubu 02 mendapatkan orang-orang yang mencoblos surat suara itu. Namun bukannya ditangkap malah disuruh pergi. 


Logikanya, kalau itu sebuah pelanggaran hukum, harusnya pencoblos tersebut diamankan. Agar bisa diketahui siapa dlang dibalik aksi curang tersebut. Itu bila kejadian tersebut memang benar adanya. 


Tapi kasus ini banyak keanehannya. Banyak logika yang tak masuk akal jika itu dikaitkan dengan kecurangan 01. Sebab begitu banyak kejanggalan di dalamnya. 


Melihat kasusnya seperti itu, maka diduga kuat kubu 02 membuat cerita sendiri, kemudian menggrebek sendiri dan heboh sendiri. Hal ini memeperlihatkan kejadian di Malaysia sudah didesain sedemikian rupa oleh kubu 02.


Diakui atau tidak, kubu 02 panik terhadap besarnya peluang kekalahan di Pilpres 2019. Oleh karenanya mereka merancang satu sandiwara melalui kasus tersebut.

Waspada, Informasi Adanya Peredaran Video Terkait Kecurangan Pemilu di Malaysia dan Hoaks Hasil Pemilu di Luar Negeri


Kasus surat suara yang sudah tercoblos di Selangor Malaysia menjadi pembicaraan publik. Tuduhan curang pun langsung mengarah ke kubu 01 lantaran yang tercoblos adalah foto mereka. 


Meski demkian, kita sebaiknya tidak mengambil keputusan dan kesimpulan secara sepihak terkait adanya video yang menunjukkan bukti tercoblosnya surat suara tersebut. Pasalnya, kita belum mengetahui duduk perkaranya dengan detail. 


Hingga saat ini pihak Kepolisian masih melakukan pendalaman terkait peredaran video tersebut. Nantinya pihak yang berwenang, yaitu KPU dan Bawaslu, akan memberi pernyataan resmi terkait video tersebut.


Di sisi lain, terdapat beberapa kejanggalan atas insiden tersebut. Hal itu karena seharusnya surat suara berada dalam pengawasan PPLN, Panwas Luar Negeri dan pihak keamanan di Kedubes. 


Sehingga menjadi sebuah keganjilan jika ditemukan di sebuah ruko kosong di luar kedutaan Indonesia. Apalagi yang dicoblos adalah surat suara yang akan dikirimkan via pos ke pemilih. 


Kejadian tersebut kemungkinan sarat dengan kepentingan politik untuk mendelegitimasi Pemilu dan pihak penyelenggara oleh pihak-pihak yang tak siap kalah dengan modus "dirty operation".


Apalagi kejadian serupa juga pernah terjadi pada Pemilu 2014 lalu. Menariknya juga di lokasi yang sama, yaitu Malaysia. 


Kecurangan itu dilakukan oleh pihak Paslon Prabowo-Hatta dengan modus penggelembungan suara memanfaatkan pengiriman surat suara via pos dan drop box. 


Seorang saksi mengatakan ribuan surat suara dikirimkan ke kantor sejumlah partai politik cabang Kuala Lumpur. Jumlahnya bervariasi, antara 2.500 dan 3.000. 


Seorang pengurus partai pendukung Prabowo-Hatta waktu itu mengatakan ribuan surat suara tersebut akhirnya dicoblos oleh anak buah saksi tersebut. 


Fitnah dan hoaks menjadi senjatayang diciptakan untuk mengacaukan informasi menjelang Pemilu. Taktik ini yang kemungkinan besar sengaja dimainkan oleh kubu Prabowo-Sandi. 


Pasalnya, sebelum kasus pencoblosan surat suara tersebut, publik juga diramaikan dengan informasi hoaks hasil penghitungan suara di luar negeri. Dikatakan dalam hoaks tersebut, pasangan Prabowo-Sandi telah memenangkan perhitungan suara di beberapa negara. 


Padahal, faktanya proses penghitungan suara baru dapat diketahui setelah tanggal 17 April 2019. Pemilihan pun juga belum digelar di beberapa negara. Lantas, kok sudah ada hasil itu darimana? 


Informasi hoaks seperti itu sebagian beaar disebarkan oleh kubu 02. Oleh karennya, pihak KPU mengharapkan agar polisi segera menangkap pelaku yang menyebar hoaks hasil penghitungan suara di luar negeri.

Diambang Perpecahan Gerindra, Arief Poyuono dan Fadli Zon Saling Serang


Perpecahan internal sangat dimungkinkan terjadi dalam tubuh Partai Gerindra. Hal ini karena ada hubungan yang tak harmonis antara Wakil Ketua Umum Arief Poyuono dan Fadli Zon. 


Seperti diketahui, diantara keduanya pernah terjadi aksi saling sindir dan menghina satu sama lain. Kasus itu berawal saat Fadli menyebut Arief sebagai sosok yang mencla-mencle, lantaran sebagai oposisi dirinya malah memuji kinerja pemerintahan Presiden Jokowi. 


Sindiran itu membuat Arief Poyuono tidak terima. Ia pun menyindir balik Fadli Zon. Baginya, tidak apa-apa disebut mencla-mencle dibandingkan menjadi kacung neolib. Tak hanya itu, Arief juga menyebut Fadli Zon sebagai kacung asing atau Amerika Serikat. 


Seperti diketahui, pada 2015 lalu, Fadli bersama Ketua DPR Setya Novanto sempat bertemu dengan Trump saat berkampanye dalam Pilpres AS. Fadli bahkan mendapatkan topi dan sudah diserahkan kepada KPK. 


"Sedih saya sama model politisi yang mentalnya mental kacung tapi topengnya nasionalis. Mana bisa maju negeri ini kalau banyak politisi yang bermental kacung asing?" tambah Arief Poyuono menuding Fadli Zon. 


Arif Puyuono dan Fadli Zon sama-sama Waketum Gerindra. Mereka juga sama-sama pendukung Prabowo, tetapi kenapa keduanya justru bertengkar dan saling menjatuhkan? Belum lagi munculnya sindiran jenderal kardus dari politisi Demokrat untuk Prabowo. Beginikah koalisi yang sehat? 


Hal ini sungguh tidak baik bagi pemerintahan Indonesia jika mereka menduduki jabatan penting dalam kenegaraan. Betapa tidak, pemimpinnya saja tak jelas, pendukungnya pun juga tak berguna. 


Koalisi Prabohong lebih baik mending ke laut aja!

Sebut Desa Pancawati Terisolir, Ferdinand Hutahaean Tebar Hoaks

Kader Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean terbukti menyebarkan hoaks terkait kondisi desa di Bogor. Penyebaran hoaks dan fitnah ini bukan sekali saja, namun berkali-kali dilakukan olehnya. 

Hoaks itu disebarkan melalui akun twitternya. "Pak @jokowi, Desa Pancawati, Kabupaten Bogor, ini terisolir tidak bisa masuk mobil. Hanya bisa dilalui motor itupun lewat tengah sawah. Yang 191 ribu kilometer itu di mana pak?" cuit Ferdinand Hutahaean.

Tak hanya itu, Ferdinand Hutahaean juga mengunggah rekaman video dirinya ketika menyusuri jalan setapak desa sambil membonceng sepeda motor. Tampak, pemandangan sawah nan hijau di sebelah kanan dan kiri jalan tersebut. Terlihat, beberapa konvoi sepeda motor yang 'mengawal' Ferdinand Hutahaean.

Cuitan Ferdinand Hutahaean di atas jelas merupakan kabar bohong. Sebab setelah dilakukan pencarian di google dengan kata kunci "Desa Pancawati Bogor" ternyata tempat terkenal dengan villa dan tempat outbond. 

Selain itu, Pancawati merupakan desa wisata yang menjadi tempat kedua setelah Puncak. Lokasi ini pun hanya berjarak 4km dari exit tol Ciawi-Bogor.

Karena berita ngawurnya itu, Ferdinand pun diserang habis-habisan oleh warganet yang mengetahui bahwa Desa Pancawati tidak terisolir, justru menjadi kawasan desa wisata yang mewah dan maju.

Itulah salah satu fitnah yang coba disebarkan oleh pendukung Prabowo-Sandi, namun gagal karena warganet tidak percaya dan jauh lebih kritis daripada dirinya. 

Ke depan, jangan mudah percaya informasi dari Ferdinand. Dia hanyalah sosok penyebar informasi hoaks dan fitnah saja.

Keji, Ferdinand Hutahaean Tuduh KH. Maimoen Zubair Tak Punya Pendirian


Sungguh kacau logika pendukung Prabowo-Sandi ini. Doa seorang ulama sepuh pun dipolitisasi demi memenangkan capres junjungannya. Salah satunya oleh Ferdinand Hutahaean. 


Hal itu terjadi saat KH. Maimoen Zubair atau akrab dipanggil Mbah Moen mengalami selip lidah dan salah menyebut nama capres yang didukungnya. Awalnya, Mbah Moen ingin menyebut Jokowi, namun keliru nama Prabowo yang disebut. 


Padahal sebelumnya, Mbah Moen mengungkapkan bahwa capres yang didukungnya adalah yang bersama dengan dirinya malam itu. Juga yang sedang memimpin dan duduk bersamanya saat itu. Dan itu tak lain adaah Jokowi. 


Kekeliruan menyebut nama harusnya dimaklumi mengingat usia Mbah Moen sudah 90 tahun lebih. Sangat wajar bila keplintir lidah. 


Namun bagi pendukung Prabowo-Sandi, seperti Ferdinand Hutahaean ini, momen tersebut adalah sasaran empuk untuk membuat "gorengan" isu. Ia gunakan kasus itu untuk menyerang kubu Jokowi-maruf Amin melelaui berbagai pelintiran. 


Misalnya, menyebut Mbah Moen ditekan oleh Gus Rommy hingga terpaksa memilih Jokowi. Ia juga menyebut Mbah Moen merasa tertekan karena tindakan Ketum PPP tersebut.


Bahkan, yang paling parah, Ferdinand Hutahaean menyebut Mbah Moen sebagai pihak yang tak memiliki pendirian. Karena ada doa yang direvisi. 


Pernyataan kader Demokrat itu tentu saja menyakitkan para Kiai dan santri NU. Karena Mbah Moen sendiri adalah tokoh sesepuh organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut. 


Hal itu juga menunjukan bahwa Ferdinand Hutahaen merupakan politisi yang tak memiliki moral, dimana hanya karena urusan politik dan kepentingan pilpres, seorang kyai sepuh pun sampai dihina dan dijadikan komoditi hinaan.  


Perlu diketahui, Ferdinand Hutahaean ini dulunya sempat berada di kubu Jokowi pada Pemilu 2014 lalu. Namunkarena kasus penggelapan uang relawan, dia akhirnya hengkang menyeberang ke kubu Prabowo. 


Sejak saat itu, dia keap berkoar-koar di media sosial menghina Jokowi dan pendukungnya. Parahnya, serangkaian hoaks demi hoaks itu turut dinaikkannya demi eksistensi junjungan barinya, Prabowo Subianto, di jagat dunia maya. 


Itulah sekelumit kisah politkus yang tak tahu malu dan nir-etika. Ia tak memiliki sikap yang jelas dan sukanya menghina, termasuk kepada para ulama.

Parah, Partai Gerindra Paling Banyak Langgar Aturan Atribut Kampanye

Parah, Partai Gerindra Paling Banyak Langgar Aturan Atribut Kampanye

Partai Gerindra ditetapkan sebagai partai yang paling banyak melanggar pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK). Hal ini terjadi di sejumlah daerah, termasuk Kab. Sidoarjo, Jawa Timur. 

Bawaslu Sidoarjo mencatat ada empat parpol di Kota Sidoarjo, Jatim yang paling banyak melanggar pemasangan APK. Dan yang tertinggi adalah Gerindra dengan 142 pelanggaran selama masa kampanye ini. 

Bentuk pelanggaran itu antara lain memasang spanduk dan baliho caleg atau parpol di tempat terlarang. Di antaranya di ruang terbuka hijau dan jalur pedestrian.

Sebetulnya ketentuan pemasangan APK sudah diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 28 Tahun 2018. Selain itu, pemkab telah mengeluarkan Peraturan Bupati 31/2017 tentang Tata Cara Pemasangan Reklame.

Di antaranya berisi larangan memasang reklame di beberapa tempat seperti median jalan atau pulau jalan, halaman milik pemerintah, jalur hijau atau taman, tempat ibadah, dan lembaga pendidikan

Setiap pelanggaran itu akan diunggah buktinya ke media sosial milik Bawaslu, sehingga diharapkan masyarakat akan mengetahui yang berdampak pada efek jera. 

Partai Gerindra terbukti melakukan pelanggaran aturan dan tak mau bersikap kooperatif dengan Bawaslu. Sehingga pelanggaran masih terus terulang. Kondisi ini menjadikan situasi kampanye tak berjalan tertib seperti yang diharapkan.

Pelanggaran kampanye dari Gerindra ini membuktikan bahwa ada mekanisme kontrol yang hilang di internalnya. Para kader dan caleg tak memahami tata cara aturan kampanye yang benar. Inilah yang menjadi ironinya. 

Gerindra yang merasa paling suci sangat absurd bila mengklaim akan membawa Indonesia menang, adil dan makmur bila masih melanggar peraturan yang sifatnya sepele. Bagaimana mau berkuasa dan taat aturan, bila masih kampanye saja terus menerus melanggar hukum? 

Jangan percaya mereka yang bermimpi besar tapi abai atas hal-hal kecil. Itu tak lain hanya mimpi di siang bolong.

Logika Sesat 02: "Andi Arief Tertangkap Nyabu, Pokoknya Jokowi yang Salah!"

Ada logika yang lucu ketika Wasekjen Partai Demokrat, Andi Arief, dicokok polisi karena kasus narkoba. Pasalnya, tiba-tiba saja, pihak oposisi justru menyalahkan pemerintahan Presiden Jokowi. 


Adalah, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono yang menyebut Andi Arief sebagai korban dari kegagalan pemerintah memberantas peredaran narkoba. 


Menanggapi hal itu, kita tentu saja tak sepakat dengan pernyataan Arief Poyuono. Kasus narkoba Andi Arief pada dasarnya adalah perilaku individu. Andi Arief yang nyabu, kok Jokowi yang salah, dimana logikanya? 


Pernyataan Arief Pouyouno ini sungguh terlihat bodoh dan tidak berkelas sebagai politisi. Karena dia hanya bisa melontarkan pernyataan lelucon dengan menyalahkan Jokowi atas kasus narkoba Andi Arief.


Padahal kalau kita mau jujur, justru di era Jokowi inilah pemerintah berani berperang dengan kasus narkoba. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. 


Salah satu buktinya, Jokowi memerintahkan tembak di tempat terhadap bandar narkoba dan tak ada remisi serta pengampunan bagi terdakwa kasus narkoba. 


Hal tersebut membuktikan bahwasanya Arief Poyuono adalah politisi berotak udang yang ingin memutarbalikkan asumsi publik dengan pernyataan konyol. 


Pernyataan yang keluar dari mulut Arief Pouyono selalu nyinyir, membodohi publik, fitnah dan tuduhan tanpa dasar. Inilah sesat pikir yang terus menerus disebarkan oleh kubu 02.

Tak Bisa Baca Al Qur'an, Timses Prabowo Rendahkan Ayat Suci


Meski kerap disebut capres hasil Ijtima Ulama nyatanya Prabowo Subianto ternyata tidak bisa membaca kitab suci Al Quran. Hal itu terbukti saat ditantang oleh Ikatan Dai Aceh.


Ketika Ikatan Dai Aceh mengusulkan tes membaca Alquran bagi capres dan cawapres, anggota Direktorat Hukum dan Advokasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Ferdinand Hutahaean, mengaku tak perlu diadakannya tes uji baca Alquran.


Ia "ngeles" katanya Indonesia sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai agama dan suku membutuhkan pemimpin yang majemuk, bukan yang pandai membaca Alquran. Padahal, mereka sering teriak-teriak keharusan pemimpin muslim dan menolak pemimpin kafir. 


Di sisi lain, penolakan Ferdinand atas tes baca Al Quran itu bisa dianggap merendahkan Ikatan Dai Aceh dan kesucian Alquran. 


Bila Prabowo memang benar sedang memperjuangkan umat Islam, seharusnya tidak perlu gusar dan mencari pembelaan serta pembenaran untuk menolak dan menghindari usulan dari Ikatan Dai Aceh tersebut. 


Cara "ngeles" Prabowo itu menunjukkan bahwasanya Ia hanya menggunakan "gimmick" Islam saja. Tidak benar-benar pemimpin Islam sesungguhnya. 


Dari kasus di ata, kita akhirnya juga tahu, Ferdinand Hutahaean itu sebenarnya bermuka dua. Disatu sisi mempertanyakan keislaman Jokowi dengan menuduh Jokowi serta pendukungnya sebagai PKI, namun disatu lain dia membela Prabowo yang tidak bisa menunjukkan keislamannya. 


Itulah kemunafikan kubu 02. Mereka hanya menggunakan Islam sebagai "bahan jualan" saja. Kenyataannya mereka bukanlah seorang yang islami, apalagi memperjuangkan agenda umat Islam. 


Jangan mau dibohongi oleh "topeng keislaman" mereka.

Rabu, 10 April 2019

Gemar Politisasi Agama, Caleg PAN Jadi Tersangka Karena Gelar Kampanye di Mushala

Pelanggaran kampanye kembali dilakukan oleh calon legislatif dari Partai Amanan Nasional (PAN). Seperti tak ada kapok-kapoknya, mereka menggunakan sarana ibadah (masjid) untuk aktivitas politik. 


Alhasil, Caleg DPRD DKI Jakarta dari PAN, Nurhasanudin, ini ditetapkan sebagai tersangka. Ia disangka melakukan tindak pidana pelanggaran pemilu karena berkampanye di tempat ibadah. 


Ketua Gakkumdu Bawaslu Jakarta Utara Benny Sabdo mengatakan, Nurhasanudin ditetapkan sebagai tersangka bersama pelaksana kampanyenya yaitu Syaiful Bachri. 


Penyidik menyimpulkan Nurhasanudin bersama Syaiful Bachri melakukan kegiatan kampanye di Mushala Qurotul Ain RT 009 RW 003 Kelurahan Sukapura, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.


Dengan kampanye di Masjid, caleg PAN itu telah memanfaatkan agama untuk kepentingan politik. Ambisi politiknya telah melecehkan kesucian dan netralitas tempat ibadah.


Padahal, seharusnya tempat ibadah dijauhkan dari aktivitas politik. Hal ini sesuai dengan UU tentang Pemilu dan peraturan KPU. 


Dengan kasus seperti itu, semakin menegaskan bahwasanya PAN yang menyebut partainya sebagai partai yang memperjuangkan umat Islam, namun ternyata kelakuan kadernya sering bertindak untuk menodao kesucian agama Islam.


Ini adalah inkonsistensi dari pikiran dan perbuatan. Bila masih caleg saja sudah berkelakuan seperti itu, bagaimana bila PAN berkuasa? Bisa jadi, masjid dan gereja, juga tempat ibadah lainnya, dijadikan kendaraan politik. Inilah yang berbahaya. 


Mari kita jaga Indonesia sebagai rumah bersama dari rongrongan kader politik yang kerap mempolitisasi agama dan menjadikan politik identitas sebagai cara berkuasa.

Minggu, 07 April 2019

Politik Berbalut Agama, Cara Kampanye Prabowo yang Berbahaya untuk Kebhinekaan

Pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dikabarkan menggelar kampanye akbar pada Minggu (7/4/2019). 


Kampanye besar-besaran di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan Jakarta ini dikemas dalam bentuk shalat shubuh berjamaah. 


Kampanye itu pun disayangkan oleh sejumlah pihak karena dikemas dengan kegiatan agama. Sebab, kegiatan di SUGBK itu jelas-jelas kegiatan politik, bukan acara keagamaan.


Dengan kampanye seperti itu, paslon 02 terbukti memakai politik identitas dengan menjual agama untuk kepentingan politik. 


Padahal, acara kampanye politik yang dikemas dengan kegiatan keagamaan bisa berpotensi menimbulkan gesekan di masyarakat karena isu SARA sangat sensitif.


Kemudian, penggunaan agama oleh kubu Paslon 02 untuk mobilisasi massa itu sangat membahayakan kehidupan, karena berpotensi merusak toleransi dan memecah belah kebhinekaan.


Cara berpolitik kubu Prabowo itu sungguh berbanding terbalik dengan kubu Jokowi. Bila Jokowi fokus pada program dan gagasan positif dan kreatif, tidak dengan lubu 02 tersebut.


Di sinilah kubu Prabowo harusnya belajar dari Jokowi. Sebaiknya mereka tidak menggunakan narasi agama dalam kontestasi Pilpres 2019 dan lebih baik menjual program-program selama 5 tahun ke depan apabila terpilih nanti.


Mari kita berpikir waras dan logis, mau pilih kandidat yang suka memobilisasi massa dengan agama untuk kepentingan politik, atau presiden yang mengajak bekerja dengan gagasan maju? 


Bila ingin Indonesia Maju, tentunya pilih Jokowi-Maruf Amin.

Ingin Indonesia Maju? Mari Coblos 01 dan Menangkan PDI Perjuangan

Pada Pemilu 2019 ini, PDI Perjuangan diprediksi akan menjadi pemenangnya kembali. Partai berlambang moncong putih itu memiliki elektabilitas paling tinggi. 


Disebutkan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, partai berlambang banteng moncong putih itu disebut menjadi satu-satunya parpol yang elektabilitasnya melampaui angka 20%. Karenanya mereka memprediksi PDI Perjuangan potensial menjadi juara Pemilu 2019. 


Survei LSI Denny JA sejak Agustus 2018 hingga Maret 2019 juga menunjukan bahwa PDIP tetap konsisten di posisi pertama elektabilitas parpol. Bahkan, survei Maret 2019 juga menunjukan elektabilitas PDIP sebesar 24,6%.


Pantas saja PDI Perjuangan memiliki elektabilitas tinggi. Pasalnya, mereka memiliki sosok kader yang tangguh di bawah, dan mampu menempatkan kader terbaiknya sebagai capres saat ini, yaitu Jokowi. 


Di sisi lain, kinerja pemerintahan yang diusung oleh PDI Perjuangan juga relatif baik. Presiden Jokowi mampu membawa kemajuan di berbagai bidang. 


Hal ini adalah modal besar bagi PDI Perjuangan untuk melanjutkan pemerintahannya lima tahun ke depan. Gagasan Trisakti Soekarno yang diakomodir menjadi Nawa Cita harus dilanjutkan kembali. 


Bersama Jokowi dan PDI Perjuangan, mari kita jadikan Indonesia Maju, yang berkedaulatan, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan gotong royong. Mari kita bumikan gagasan Soekarno kembali. 


Bung, ayo pertahankan! Pilih Jokowi dan coblos PDI Perjuangan. Mari kita bawa Indonesia Maju dengan tetap menjunjung jiwa gotong rooyong dan kebhinekaan Indonesia.

Jokowi Di Mata Para Santri Ponpes Al Muayyad, Tempat Mengaji Presiden Dulu

Youtube

Sosok capres petahana Joko Widodo sangat dekat di hari rakyat, terutama kaum santri di Pondok Pesantren Al Muayyad, Surakarta, Jawa Tengah. Kerendahan dan kesantunan Presiden Jokowi memang sudah tertanan sejak masih kecilnya dulu. 


Berdasarkan cerita para santri pondok pesantren Al Muayyad, pribadi Jokowi bukanlah sosok yang gampang melupakan tempat dimana dia pernah menimba ilmu agama dulu. Hal ini terekam dari sebuah video yang berjudul "Jokowi di Mata Santri Al Muayyad Solo".


“Dulu Pak Jokowi Ngajinya disini bersama pak Abdul Karim. Beliau sangat menghormati kepada guru-guru. Cinta kepada Kiai, cinta kepada NKRI. Beliau juga sering mengunjungi gurunya yang dulu di Ponpes Al Muayad sebagai bentuk silaturahmi Jokowi dengan para gurunya sewaktu kecil,” ungkap seorang santri Ponpes Al Muayyad, Irfan Rifai.


Perhatian Jokowi kepada perkembangan santri Tanah Air bukanlah ceita basa-basi politik. Ia bahkan serius menetapkan Hari Santri pada 22 Oktober sebagai janji Jokowi yang digemborkannya ketika kampanye Pemilihan Presiden 2014.


Jokowi juga sangat hormat kepada Kyai. Buktinya meski menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia, Jokowi tak melupakan para guru-gurunya. Dia masih sering bertandang silaturahmi ke Ponpes Al Muaayad. 


Selain itu, komitmen Jokowi kepada NKRI tak bisa diragukan lagi. Ia sosok yang nasionalis. 


Karena itu, para santri di Muayyad berharap Jokowi dapat lanjut sekali lagi. Besar harapan para santri kepada Jokowi agar dapat meneruskan setiap program-programnya dan melanjutkan kepemimpinannya.

Lagi-Lagi, Caleg PKS Terbukti Mainkan Politik Uang di Pati

Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kembali dilaporkan melakukan politik uang (money politics) menjelang Pemilu 2019 ini. Kali ini terjadi di Pati, Jawa Tengah. 


Adalah, Kholisah (40) warga Desa Payang Kecamatan Pati melaporkan kepada Bawaslu Kabupaten Pati atas dugaan politik uang yang dilakukan tim sukses calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Pati dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jumat (5/4).


Dengan menyertakan bukti berupa video berdurasi tujuh detik, Kholisah menjelaskan tim sukses caleg bernama Warjono tersebut membagikan amplop berisi uang kepada peserta arisan RT di desanya, Kamis (4/4/2019) sekitar pukul 16.00.


Parahnya, setelah diberi amplop, masing-masing diminta bersumpah untuk nyoblos caleg tersebut. 


Atas laporan tersebut, Komisioner Bawaslu Kabupaten Pati Divisi Penyelesaian Sengketa, Suyatno bahwa dirinya akan segera melakukan rapat pleno untuk menindaklanjuti adanya laporan tersebut. 


Jika terbukti bersalah, mengacu pada Pasal 521 UU Nomor 7 Tahun 2017, pelaku diancam pidana maksimal dua tahun penjara dan denda Rp 24 juta.


Tidak kali ini saja caleg PKS dilaporkan melakukan politik uang. Di beberapa daerah, caleg dari partai yang mengklaim dirinya "Partai Allah" ini sudah diputus bersalah. 


PKS yang mengklaim diri sebagai partai Islam, ternyata kelakuan calegnya tak mencerminkan diri sebagai umat ataupun partai Islam. Setiap caleg yang diusung oleh partai ini hendaknya dapat menjaga nama baik partai, apalagi yang mengusungnya menyatakan diri sebagai partai Islam. 


Kasus ini semakin menunjukkan bahwa politik PKS tak sejalan dengan ideologi/ agama yang kadang digemborkan sebagai dasar dan pedoman. 


Jangan percaya mereka yang menjual nama Tuhan untuk kepentingan politik, karena bisa jadi mereka sendiri yang kelakuannya melebihi setan.

Bendera NU Dipakai Sandiaga Kampanye, PCNU Lumajang Protes Keras

Baru-baru ini, BPN Prabowo-Sandi diprotes keras oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Lumajang. Pasalnya, cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno mengibarkan bendera NU saat kampanye di Lumajang. 


Menurut PCNU Lumajang, pengibaran bendera oleh Sandiaga itu dianggap sebagai bentuk pelecehan kepada Jam’iyah NU, dan menimbulkan gesekan di masyarakat.


Hal tersebut disampaikan pada Nota Keberatan yang dikeluarkan oleh PCNU, Sabtu (6/4/2019). Ada 4 point yang disampaikan pada nota ini. NU memandang bahwa cara untuk menarik simpati masyarakat tidak boleh menodai lembaga, organisasi dan institusi resmi.


“Kami mewakili segenap keluarga besar NU Kabupaten Lumajang menyampaikan kekecewaan dan nota keberatan yang sangat dalam atas tindakan penyalahgunaan ‘Bendera NU’ tersebut dalam kegiatan kampanye akbar Paslon 02 yang bertempat di Stadion Lumajang pada hari Kamis, 4 April 2019,” penggalan Nota Keberatan.


Nota keberatan tersebut tidak secara khusus dikirimkan kepada Badan Pemenangan Nasional. Keberatan dikeluarkan kepada semua orang supaya ke depan tidak ada lagi pihak-pihak yang menggunakan bendera NU untuk kampanye politik.


Dari kasus tersebut, Sandiaga Uno sengaja menggunakan atribut bendera NU dalam kampanyenya di Lumajang Jawa Timur untuk memperkuat eksistensi bahwa pihaknya didukung oleh kaum nahdiyin. 


Kondisi ini justru semakin menunjukkan bahwa kubu paslon 02 sedang melakukan berbagai upaya dalam menarik simpati masyarakat setelah sebelumnya selalu gagal dalam menggunakan modus hoaks. 


Bila demikian, maka sudah sangat tepat protes dari pengurus NU di Lumajang tersebut. Jangan sampai jami'iyyah NU dipecah belah oleh kandidat yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan kemenangan.

Jangan asal Tuduh, Kebocoran APBN sejak Orba dan Berkurang Signifikan di era Jokowi


Isu kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) kerap dilontarkan oleh kubu oposisi dalam kritiknya terhadap pemerintah. Namun tahukah kamu, bahwa kebocoran anggaran itu terus menurun sejak di era Presiden Jokowi? 


Ya, seperti itulah faktanya. Harus diakui, kebocoran APBN sudah ada sejak zaman orde baru dan jumlahnya terus menurun seiring perpindahan rezim. 


Pandangan seperti ini sebagaimana disampaikan oleh Anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Eva Kusuma Sundari.


Kebocoran anggaran sudah menjadi penyakit sejak zaman Pak Soeharto, bahkan lebih parah. Karena dulu APBN itu tidak satu pintu, tapi banyak pintu. 


Kondisi itu kemudian berubah saat pemerintahan Presiden Jokowi. Diakui memang masih ada kebocoran anggaran hingga saat ini, namun  jumlahnya tidak sebesar pada zaman orde baru. 


Salah satu sebab kebocoran anggaran itu berkurang karena proses pengadaan dan anggaran dilakukan dengan elektronik, seperti e-budgeting, e-procurement, dan e-planing. 


Apalagi birokrasi digital itu telah berlaku di seluruh Indonesia maka tidak akan ada lagi peluang bocor yang direncanakan


Jadi, pengelolaan APBN di era Jokowi ini sudah banyak perubahan dan kebocoran semakin minim. Sehingga jika terpilih lagi, Jokowi akan terus memperbaiki pengelolaan APBN.


Berbeda dengan lawannya Prabowo yang hingga kini yang tak memiliki program untuk menutup kebocoran. Sehingga isu kebocoran anggaran yang kerap disampaikannya itu adalah pepesan kosong belaka. 


Ke depan, Jokowi akan menerapkan pemerintahan Dilan (digital melayani) yang berorientasi pada pelayanan publik dengan cepat. Bila itu diterapkan, maka kebocoran anggaran makin berkurang dan perlahan hilang. 


Inilah harapan yang harus diwujudkan bersama. Bukan cuma sekadar 'gimmick' dan kritik yang tak berdasar, seperti yang dilakukan oleh Prabowo.

Selasa, 02 April 2019

Demi Ambisi Politik, Rhoma Irama Ikut Menyebar Hoaks RUU PKS akan Legalkan Zina


Fitnah yang mengandung kabar bohong (hoaks) kembali disebarkan oleh tokoh publik Indonesia. Kali ini dilakukan oleh Rhoma Irama terkait dengan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). 


Mengulang apa yang disampaikan oleh Tengku Zulkarnain beberapa waktu lalu, Rhoma menyebutkan bahwa RUU PKS yang tengah digodok di era Presiden Joko Widodo akan melegalkan zina dan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transeksual atau LGBT. 


Hal itu disampaikan oleh Rhoma saat berpidato dalam kampanye akbar Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (31/3).


Tentu saja, apa yang disampaikan oleh Rhoma itu tidak benar. Pemahamannya soal RUU PKS sungguh salah kaprah. Sebab rancangan beleid itu tak ada urusannya sama sekali dengan legalisasi zina dan pernikahan sejenis. 


Patut diduga, pernyataan Rhoma Irama itu terkesan dangkal dan tak berdasar dan bernuansa politis demi menjatuhkan elektabilitas petahana di depan pendukung 02. 


Kasus Rhoma ini persis seperti yang dillakukan oleh Tengku Zulkarnain. Ia juga pernah menyatakan bahwa RUU PKS sama saja dengan melegalkan zina. 


Namun pernyataan tersebut akhirnya dicabut dan diakhiri dengan permintaan maaf karena dirinya mendapat masukan yang salah tentang RUU PKS. 


Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga saat ini masih mengkaji RUU PKS. Wakil Sekjen MUI Amirsyah Tambunan mengatakan, keberadaan RUU PKS ini dinilai penting untuk mencegah penyimpangan seksual yang terjadi di masyarakat. 


Nantinya hasil kajian dari MUI akan diserahkan pada DPR sebagai bahan pertimbangan sebelum disahkan. MUI menekankan bahwa berbagai hubungan seksual yang menyimpang harus diatur dalam perundang-undangan. Selama ini KUHP dinilai belum cukup mewadahi persoalan tersebut.


Kita sebaiknya mengikuti mbauan dari MUI agar kepada semua pihak khususnya tokoh agama, masyarakat dan elit politik untuk lebih bijak, cermat dan berhati-hati dalam menyampaikan pendapat kepada publik. 


Pernyataan dari Rhoma Irama tersebut jelas cenderung menyudutkan pemerintah demi mengejar elektabilitas paslon yang didukungnya. Parahnya itu tidak diikuti dnegan fakta yang sesuai dengan kenyataan. 


Akhirnya apa yang disampaikannya tak lain merupakan fitnah yang mengandung informasi hoaks.

Senin, 01 April 2019

Kerap Tuding Kekayaan Lari ke Luar Negeri, Prabowo dan Sandi Malah Terjerat Kasus Panama dan Paradise Papers

Dalam beberapa kesempatan, termasuk debat keempat Pilpres lalu, Prabowo Subianto selalu mengungkit masalah kebocoran anggaran dan larinya kekayaan Indonesia ke luar negeri. 


Pertanyaannya, pantaskah klaim itu dilontarkan, sedangkan Prabowo (juga termasuk Sandi) disebut sebagai pelaku dalam Panama dan Paradise Paper? 


Begini ceritanya, hampir setiap tahun anggaran bocor itu sebesar 25%. Ke manakah anggaran yang bocor itu dilarikan? Ada berbagai modus untuk menyembunyikan dana haram tersebut, salah satunya dengan menyimpannya di negara yang menjanjikan tax haven atau suaka pajak.


Beberapa waktu lalu, skandal suaka pajak dan dugaan pencucian uang secara global terkuat. Ada dua kasus yang paling menghebohkan, yaitu Pahama Papers dan Paradise Papers.


Panama Papers terkait firma hukum Mossack Fonseca di Panama, yang melibatkan nama-nama besar termasuk disebut-sebut nama Sandiaga Uno. 


Sedangkan, Paradise Papers bersumber dari firma hukum Appleby di Bahama yang juga didalamnya disebut-sebut nama Prabowo Subianto. Modus dan motif keduanya hampir sama.


Perlu diketahui, keterlibatan Sandiaga dan Prabowo di Panama Papers dan Paradise Paper bertujuan untuk menghindari pantauan sistem hukum dan administrasi Indonesia, terutama yang berkaitan dengan perpajakan, pencucian uang dan korupsi.


Tak tertutup kemungkinan, data Panama Papers dan Paradise Papers itu juga terkait dengan dugaan pidana korupsi dan pencucian uang pada masa lalu, maka sepanjang belum kadaluwarsa, aparat penegak hukum tetap dapat melakukan penyelidikan.


Secara moral,  mengingat modus dan motif pendirian perusahaan cangkang di negara tax havens itu adalah untuk menghindari kewajiban hukum di Indonesia, sebagaimana terjadi di negara lain, misalnya Inggris, Finlandia, dan Australia yang melibatkan pejabat negara, tuntutan mundur lazim didesakkan.


Dengan begitu, tak ada legitimasi moral lagi bagi mereka yang telah melakukan tindakan tercela ini. Mereka berani berkhianat dengan mencari cara untuk mengelabui pajak kepada negara. 


Tidak dapat dibenarkan secara etis dan menjadi cacat hukum bagi siapapun dalam mengikuti kontestasi politik, dimana salah satu tanggung jawab sebagai Presiden adalah menjadi role model dan panglima penegakan hukum yang harus dapat dicontoh kualitas moralnya. Namun ternyata kelakuannya seperti itu. 


Sekali lagi, keterlibatan Prabowo-Sandiaga di Panama Paper dan Paradise Papers kembali memunculkan pertanyaan apakah keduanya sudah layak menjadi Presiden dan Wapres? 


Apakah keduanya memiliki legitimasi moral dalam mengelola Indonesia yang sekarang sumber pendapatan negaranya bertumpu pada perpajakan? Apalagi dalam berbagai kesempatan mereka kerap menuding kekayaan Indonesia lari ke luar negeri. 


Jadi, siapa yang melarikan itu? Bukankah anda-anda itu sendiri, Hei Prabowo dan Sandiaga? Jadi jangan belagak gila (belgi) dengan kelakuan anda seperti itu.