Minggu, 30 Juni 2019

Bagaimana Bila Prabowo-Sandi Membawa Kasus Pilpres ke Mahkamah Internasional? Ini Penjelasannya



Kubu Prabowo-Sandiaga berwacana membawa sengketa hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah International. Namun hal itu sangat mustahil, karena Mahkamah Internasional tak memiliki kewenangan mengadili perkara Pemilu di suatu negara.


Hal itu juga menjadi penilaian Ketua Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, misi Prabowo-Sandi untuk membawa perkara Pilpres 2019 ke Mahkamah Internasional itu sangat konyol.


Perlu diketahui, Mahkamah internasional dibagi menjadi dua. Pertama, Pengadilan Internasional (ICJ) dan kedua, Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Keduanya juga memiliki fungsi yang berbeda.


ICJ berwenang menyelesaikan kasus internasional berkaitan dengan kasus bilateral atau multilateral. Sementara ICC berwenang mengadili kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, perang dan kejahatan melakukan agresi terhadap negara lain.


Bila kasus Pilpres ini diajukan oleh kubu Prabowo-Sandi ke Mahkamah Internasional, kita sangat yakin permohonannya itu bakal ditolak. 


Pasalnya, tidak menjadi yurisdiksi kedua sistem peradilan itu untuk menangani sengketa pemilu dalam negeri.


Dengan wacana di atas, Prabowo-Sandi sebenarnya berusaha membuat kegaduhan dengan cara menyesatkan pemahaman rakyat dengan wancana membawa sengketa Pilpres ke Mahkamah Internasional.


Hal tersebut, tentu saja, sangat disayangkan. Pembodohan rakyat seperti sebaiknya segera diakhiri agar tidak makin banyak 'orang bodoh' yang mudah dibohongi oleh para elit. 


Mari kita luruskan perkara ini kepada keluarga dan tetangga, agar mereka tak mudah percaya dengan narasi menyesatkan seperti di atas.

Tak Legowo, Prabowo-Sandi Tak Mau Hadir di Penetapan Capres-Cawapres Terpilih



Meski mengaku menerima keputusan mahkamah Konstitusi (MK), pasangan Prabowo Subianto- Sandiaga Uno ternyata memutuskan tidak hadir pada penetapan pemenang Pemilu oleh KPU. 


Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menetapkan Joko Widodo- Ma'ruf Amin sebagai capres-cawapres terpilih pada Minggu 30 Juni 2019. Dalam momen ini, KPU mengundang seluruh kontestan Pilpres 2019.


Keputusan Prabowo-Sandi di atas sebagaimana disampaikan oleh Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Jumat (28/6/2019).


Menurut Muzani, lazimnya Prabowo tak perlu hadir saat penetapan pasangan calon terpilih.


Tentu saja, keputusan Prabowo-Sandi tersebut sangat disayangkan. Karena ketidakhadirannya tersebut menunjukan bahwa dirinya tidak legawa dan ksatria menerima kekalahan. 


Sikap tersebut bukanlah sikap seorang negarawan dan menjadi preseden buruk dalam kontestasi politik. Apalagi sekadar ucapan selamat pun tak diberikan olehnya. 


Kalau melihat dinamika yang ada dan ketidakhadiran Prabowo-Sandi itu bisa dikatakan bahwa persatuan Indonesia masih susah terwujud. Hal itu dikarenakan sikap keras kubu 02 yang tidak ingin berdamai dengan kubu 01. 


Tentu saja ini patut disayangkan. Padahal seharusnya seluruh kontestasi itu berhenti pasca pemenang Pemilu ditetapkan. 


Bisa dikatakan, itulah kelakuan kekanak-kanakan kubu Prabowo-Sandi. Kelakuan seperti itu tak layak ditiru oleh generasi penerus bangsa di kemudian hari. 


Ke depan, mari kita akhiri seluruh perbedaan karena pilihan politik. Masyarakat harus bersatu kembali membangun bangsa dan negara secara bersama-sama.

Sebagai Kontrol Pemerintah, Oposisi itu Penting dalam Negara Demokrasi



Dalam sebuah negara demokrasi, kehadiran oposisi sangat penting. Hadirnya mereka akan menjadi check and balance bagi rezim yang berkuasa.


Peran oposisi dalam mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah bisa menjadi semacam kontrol bagi pemerintahan. Hal itu akan membuat Indonesia menjadi lebih baik ke depan, sehingga abuse of power dapat dihindari.  


Pasca Pemilu 2019, kehadiran oposisi juga sangat penting. Apabila pihak yang kalah, seperti Prabowo dan partai pendukungnya, menjadi pihak oposisi akan sangat baik. Mereka bisa menjadi pengontrol kinerja pemerintahan Jokowi. 


Meski demikian, dalam politik, semua kemungkinan bisa saja terjadi. Termasuk adanya kemungkinan partai-partai pendukung pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno untuk bergabung dengan koalisi pendukung Joko Widodo - Maruf Amin untuk lima tahun ke depan.


Tetapi kondisi tersebut kurang ideal bagi negara demokrasi seperti Indonesia ini. Sebaiknya tidak semua elite politik setelah putusan sengketa Pilpres 2019 kemudian berbondong-bondong gabung ke pemerintahan. 


Justru akan bermasalah bila mereka beramai-ramai bergabung. Nantinya, oposisi akan kosong. Ini yang yang lebih buruk lagi. 


Dalam lima tahun mendatang, tetap harus ada yang beroposisi sebagai kontrol terhadap pemerintah. Dan pihak pemerintah pun harus sadar juga, menang itu bukan berarti tidak mengakomodir yang kalah


Kita berharap demokrasi semakin matang di Indonesia, salah satunya dengan tetap adanya pihak oposisi. Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat bisa tetap berkontribusi di luar pemerintahan Jokowi. 


Bila begitu, maka mekanisme kontrol pemerintahan akan berjalan dengan baik. Pun dengan kualitas demokrasi yang semakin matang.

Masih Tak Terima Putusan MK, Fadli Zon Berikan Ucapan Ngawur



Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ternyata pendukung kubu Prabowo-Sandi tak satu suara. Sebagian mau menerimanya dengan legawa, sebagian lain justru menolak kemenangan Jokowi-Maruf Amin. 


Hal itu, misalnya, tercermin dari perbedaan sikap antara Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Persisnya antara Arief Poyuono dan Fadli Zon. 


Sebagaimana dilansir dari media massa, Arief mengakui kemenangan Joko Widodo dalam Pilpres 2019 yang menurutnya telah berjalan demokratis. Ia bahkan turut memberikan selamat kepada pasangan Jokowi-Maruf Amin.


Berbeda dengan koleganya se-partai, Fadli Zon. Ia terlihat tidak bisa menutupi rasa kekecewaannya, lantaran seluruh permohonan gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 yang diajukan oleh Capres-Cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).


Menurutnya, atas putusan MK tersebut, bangsa Indonesia telah kehilangan kesempatan dipimpin oleh negarawan. 


Pernyataan Fadli itu terang saja menunjukkan bahwa pihaknya masih tidak bisa menerima kenyataan, sebab seluruh permohonan gugatan sengketa Pipres Paslon 02 ditolak MK.


Diakui atau tidak, Fadli Zon ini adalah orang konyol dan tolol unlimited. Ia masih saja gagal paham dengan makna demokrasi, padahal Prabowo sudah mengaku menghormati putusan MK. 


Kalau soal sikap negarawan, Jokowi pasti lebih unggul dibanding Prabowo yang tidak mau mengakui kemenangan lawan dan terus merengek minta dimenangkan, seperti pecundang.


Antara Fadli dan Prabowo memang senada. Kualitas kenegarawanannya tak bergitu jauh, sehingga sikapnya hampir-hampir mirip. 


Hal itu menunjukan bahwa gerombolan mereka memang hanya siap untuk menang, tetapi tidak siap untuk kalah. 


Untung saja mereka kalah, sehingga kita juga kehilangan kesempatan dipimpin oleh orang-orang seperti itu. Bayangkan kalau mereka menang, alih-alih Indonesia akan Maju, yang ada pasti justru mundur ke belakang. 


Mari kita terus bekerja untuk membangun bangsa, tanpa harus mendengarkan ocehan tak bermutu dari mereka. Setuju?

Selasa, 25 Juni 2019

Kepolisian Larang PA 212 Demo di Mahkamah Konstitusi, Silakan Gelar Halalbihalal di Tempat Lain!



Pihak kepolisian menegaskan tidak boleh ada aksi demonstrasi di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK) dalam waktu dekat ini. 


Hal ini merujuk rencana Persaudaraan Alumni (PA) 212 dan GNPF yang ingin mengadakan aksi massa kawal sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) sekaligus halalbihalal di sekitar gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25-28 Juni nanti.


Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono.


Larangan polisi itu muncul karena aksi demonstrasi hendak digelar di jalan protokol. Hal ini dilarang oleh Undang-Undang. Tepatnya UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, dimana pada Pasal 6 disebutkan syarat demonsrasi tidak boleh mengganggu ketertiban umum dan hak orang lain. 


Untuk diketahui, gedung MK berada di Jalan Medan Merdeka Barat, yang merupakan jalan protokol dan tak jauh dari Istana Merdeka.


Selain itu, polisi juga berkaca dari pengalaman aksi di depan gedung Bawaslu 21-22 Mei 2019. Di mana awalnya kegiatan tersebut disebutkan sebagai aksi damai, namun berubah menjadi aksi anarkistis. 


Pihak kepolisian mengimbau PA 212 agar menggelar acara halalbihalal di lokasi lain, dan tidak di gedung MK. 


Bagi kita sederhana saja, silakan halalbihalal dilaksanakan di tempat yang lebih pantas, seperti di gedung atau di rumah masing-masing. Jangan kotori acara keagamaan dengan kepentingan politik. 


Masyarakat Indonesia kini sudah paham dengan sepak terjang bani sorban dan monaslimin. Mereka suka mempolitisasi agama demi kepentingan politiknya sendiri. 


Oleh karena itu, kita sebaiknya mengabaikan seruan dari PA 212 tersebut. Ini langkah yang bijak di situasi saat ini.

Gelar Persidangan dengan Baik, Majelis Hakim MK Perlihatkan Sikap Kenegarawanan



Bila diperhatikan secara seksama, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi telah memperlihatkan sikap kenegarawanannya selama menyidangkan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).


Indikatornya, mereka telah melakukan pemeriksaan persidangan secara khidmat, cermat, transparan dan akuntabel. Hal ini merupakan prasyarat dari persidangan yang adil. 


Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Politikus PDI Perjuangan, Arteria Dahlan. Penilaiannya tersebut didasarkan pada fakta di persidangan yang disaksikannya sendiri. 


Selain sikap kenegarawanan di atas, Majelis Hakim MK juga berani keluar dari fatsun formil hukum acara. Terutama berani untuk tidak populer, dan cenderung membuat polemik baru, hanya sekadar untuk memberikan ruang seluas-luasnya bagi Pemohon untuk membuktikan dalil-dalilnya.


Misalnya, seperti memperbolehkan Pihak 02 membuat permohonan baru, menambah bukti-bukti baru, memeriksa saksi-saksi Pemohon yang secara kasat mata tiak memiliki kualifikasi sebagai saksi dengan waktu yang sangat lama sehingga persidangan berlangsung hampir 20 jam.


Namun sayangnya, Pemohon telah gagal untuk menghadirkan dokumen-dokumen bukti dan saksi-saksi yang mampu mendukung dalil-dalilnya. Hal itu telah kita saksikan bersama berkat siaran langsung dalam persidangan di MK.


Alhasil, publik secara sederhana telah mampu menilai sendiri bahwa dalil-dalil Pemohon terkait adanya kecurangan TSM itu tidak terbukti. Bahkan terkesan sebagai berita bohong, hoaks, atau setidak-tidaknya jauh dari fakta yang sebenarnya.


Kita percaya Majelis Hakim MK akan memberikan putusan yang adil atas perkara sengketa hasil Pemilu 2019 ini. Sikap kenegarawanan dan integritas para Hakim MK sudah teruji.

Pandai Bermain Kata-Kata, Nelayan Berang dengan Gubernur DKI Jakarta




Kalau soal bermain kata-kata sepertinya tak ada yang bisa mengalahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sebab, dia kerap mengubah suatu istilah meskipun pengertian dasarnya sama. 


Misalnya, baru-baru ini mantan Mendikbud itu memperkenalkan kosa kata baru, yaitu "daerah eprpanjangan daratan di Teluk Jakarta" sebagai ganti dari "pulau reklamasi". 


Konon, konsep yang dihembuskan Gubernur Anies adalah tidak ada lagi istilah Pulau A, B, C, D, dan seterunya. Pulau-pulau itu adalah daratan yang diperluas di pantai Ancol, Jakarta Utara.


Dasar yang digunakan adalah Peraturan Gubernur nomor 206 tahun 2016 tentang Rencana Tata Kota. Ketentuan hukum itu digunakan sambil menunggu ketentuan tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang saat ini masih dibahas.


Uniknya, sementara RDTR belum disahkan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) telah dikeluarkan Gubernur Anies untuk sekitar 900 bangunan di Teluk Jakarta.


Karenanya, Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengkritik keras sikap Gubernur DKI tersebut. Mereka mengingatkan agar Pemerintah DKI tidak bermain kata-kata demi kepentingan pembangunan Pulau Reklamasi.


Ketua Harian KNTI Martin Hadiwinata curiga menyebut Pulau D sebagai perpanjangan daratan hanya untuk mempermudah penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di pulau tersebut. 


Ia juga meminta Pemerintah DKI harus tetap merujuk kepada Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang telah mengatur tata ruang di area pesisir.


Sebagaimana diketahui, Anies dulu kerap gembar-gembor menolak kebijakan Reklamasi Teluk Jakarta saat kampanye Pilgub Jakarta dulu. Ia mengkritik keras apa yang dikerjakan oleh Gubernur Ahok. 


Tapi kini nyatanya dia sama saja, hanya memoles kata-kata seolah tidak ada reklamasi lagi. Bagi kita yang waras, tentu saja, tak akan mudah dibohongi oleh Gabener DKI Jakarta ini. 


Yang jelas, KNTI bersama koalisi masyarakat sipil akan melakukan aksi menentang diterbitkannya IMB di pulau reklamasi Teluk Jakarta ini. Secara khusus, KNTI juga akan mendesak Anies Baswedan untuk bisa mencabut izin tersebut, karena ada persoalan aturan dasar yang cacat dan maladministrasi.


Mari kita akhiri bermain kata-kata, Pak Gubernur. Kerjakan apa yang dulu menjadi janji anda saja, jangan setelah mendapatkan jabatan lantas lupa dengan janji-janji manis terdahulu. 


Rakyat Jakarta akan tetap mengawasi tingkah polah Anda. Camkan itu!


Prediksi Ahli, Kemungkinan Prabowo-Sandi Menang Sangat Kecil



Gugatan hukum yang dilayangkan pasangan Prabowo-Sandiaga ke Mahkamah Konstitusi (MK) kemungkinan besar tidak akan dikabulkan majelis hakim. 


Hal ini bukan hanya menjadi penilaian awam, tetapi juga menjadi prediksi para ahli. Salah satunya adalah Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Feri Amsari.


Ia memprediksi kecil kemungkinan MK akan memenangkan gugatan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam sengketa hasil Pilpres 2019 ini.


Hal ini karena tim hukum Prabowo-Sandi belum menunjukkan bukti yang kuat untuk mendukung permohonan mereka.


Ia mencontohkan, perihal penyelewengan dalam perolehan suara. Tim hukum Prabowo-Sandi dinilai belum bisa memperlihatkan bukti yang kuat terkait tudingan tersebut.


Malahan, tim hukum Prabowo-Sandi menarik bukti formulir C1 yang sempat diajukan ke MK.


Padahal mereka sedianya diberi kesempatan oleh hakim MK untuk memperbaiki bukti tersebut agar bisa diterima.


Ia semestinya tim hukum Prabowo-Sandi bisa membuktikan tudingannya dengan menghadirkan barang bukti yang mumpuni.


Hakim konstitusi akan kesulitan memenangkan mereka jika bukti dan keterangan saksinya tak mumpuni.


Bila melihat itu, maka sebaiknya kubu Prabowo-Sandi harus  siap-siap menerimanya. Mereka harus legawa menerima hasilnya jika kalah.

Manipulatif! Halal Bihalal 212 Hendak Menekan Hakim MK dengan Dalih Acara Agama



Baru-baru ini, beredar selebaran akan adanya aksi demonstrasi pada 24-28 Juni 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). 


Aksi tersebut rencananya digelar oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212 dengan tajuk “Halal Bi Halal Akbar 212”.


Namun sebenarnya aksi itu hanya manipulasi saja. Karena alasan utamanya mereka menggelar aksi tersebut bukanlah untuk halal bihalal, melainkan sebagai respon atas putusan majelis hakim MK.


Aksi kumpul massa di MK itu tak lain diniatkan untuk menekan MK. Bukan sebagaimana diniatkan untuk silaturahmi halal bihalal. 


Hal ini mirip dengan strategi yang pernah mereka gunakan untuk menekan hakim dalam persidangan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dulu. 


Oleh karena itu, masyarakat tidak simpati dengan aksi demonstrasi seperti itu. 


Pasalnya, mereka menggunakan dalih acara keagamaan untuk kegiatan politik.


Kalau kegiatan itu benar untuk ibadah harusnya tak perlu digelar di MK. Halal bihalal bisa dilakukan di gedung atau tempat yang lebih layak lainnya.


Ataupun, kalau kegiatan itu murni untuk ibadah, maka seharusnya dilakukan secara individu dan tak perlu digembar-gemborkan. Sungguh tidak lazim shalawat dan dzikir digelar di sekitar MK, kecuali memiliki tujuan politik. 


Kita sebaiknya mengabaikan aksi demo seperti di atas. Tak ada gunanya bagi diri pribadi dan kehidupan masyarakat secara luas. 


Mari kita jaga kondusivitas masyarakat dengan tidak membuat kekacauan di sekitar waktu pembacaan putusan MK soal perkara sengketa Pemilu. Mungkin ini adalah langkah yang lebih bijak.

Senin, 24 Juni 2019

Kerap Menimbulkan Pro Kontra, Mendagri Kaji Perpanjangan Izin FPI




Pengajuan permohonan perpanjangan izin organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam (FPI) tengah dievaluasi pemerintah. 


Permohonan izin itu tengah diurus oleh Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Polpum Kemendagri).


Terkait itu, Mendagri Tjahjo Kumolo telah membenarkan bahwa saat ini pihaknya sudah menerima surat pengajuan perpanjangan izin organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI). 


Tjahjo juga sudah membentuk tim untuk menangani pengurusan perpanjangan izin ormas. Namun tim itu dibentuk tidak hanya  untuk mengurusi FPI saja, melainkan untuk seluruh ormas yang mengajukan perpanjangan izin.


Pada prinsipnya, setiap ormas yang mengajukan perpanjangan izin pasti akan ditinjau kembali oleh Kemendagri. 


Sebelumnya FPI mengajukan izin melalui Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Dalam prosesnya, Kemendagri akan mempelajari SKT tersebut dan tak bisa langsung menyetujui perpanjangan izin. 


Salah satu yang perlu ditinjau ulang adalah komitmen ormas tersebut terhadap NKRI dan Pancasila.


Apalagi selama ini, FPI diketahui kerap membuat keributan dan kericuhan yang meresahkan masyarakat. Pantas saja bila pemerintah perlu meninjaunya lagi.


Tetapi yang pasti apapun keputusan terkait permohonan perpanjangan izin ormas seperti FPI ini akan menimbulkan pro dan kontra. Bila ditolak pasti mereka protes, tetapi bila diterima pasti akan diprotes masyarakat lebih luas.


Yang jelas, ormas yang baik itu pastinya tak akan membuat keributan, serta tidak menimbulkan pro dan kontra. Mereka justru lebih mengutamakan kemaslahatan bangsa dan negara. 


Untuk kriteria tersebut, FPI sepertinya jauh panggang dari api. Kelakuan mereka tak layak bila dianggap sebagai ormas yang baik. 


Anda setuju FPI dibubarkan? Sama, kita juga.

Kamis, 20 Juni 2019

Post-Truth dan Narasi Kecurangan a la Prabowo-Sandi



Istilah "post-truth" mengemuka di sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf, Yusril Ihza Mahendra. 


Lantas, apa relasi istilah post-truth itu dengan gugatan kubu Prabowo-Sandi di MK? 


Menurut Yusril tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat Indonesia pada proses Pemilu 2019 ini adalah fenomena politik pasca-kebenaran atau post-truth politics yang menguat beberapa tahun terakhir ini. 


Ciri-ciri post-truth itu adalah penggunaan strategi untuk membangun narasi politik tertentu untuk meraih emosi publik dengan memanfaatkan informasi yang tidak sesuai dengan fakta. Hal ini yang membuat preferensi politik publik lebih didominasi oleh faktor emosional dibandingkan dengan faktor rasional.


Terkait fenomena ini, Yusril mengatakan dalil-dalil permohonan tim hukum Prabowo-Sandi mesti dikritik. Menurutnya, narasi kecurangan yang diangkat tim hukum Prabowo-Sandi kerap diulang-ulang. Ini adalah salah satu ciri politik post-truth yang digunakan oleh koalisi 02 tersebut. 


Misalnya, narasi kecurangan yang diulang-ulang terus-menerus tanpa menunjukkan bukti-bukti yang sah menurut hukum dan klaim kemenangan tanpa menunjukkan dasar dan angka yang valid. 


Selain itu, juga diikuti dengan upaya mendelegitimasi kepercayaan publik pada lembaga penyelenggara Pemilu dan lembaga peradilan hendaknya tidak dijadikan dasar untuk membangun kehidupan politik yang pesimistik dan penuh curiga.


Tindakan kubu Prabowo saat ini pada dasarnya sama dengan Pemilu 2014, yaitu bersikeras menang, meskipun kalah dengan memainkan narasi berbahaya yang dapat membahayakan bangsa.


Atas cara-cara ini, Yusril Ihza Mahendra sangat paham seluk beluknya. Sebab, pada Pemilu sebelumnya dia merupakan kuasa hukum Prabowo-Hatta. 


Melihat pemaparan tersebut, kita sebaiknya tak mudah percaya dengan informasi yang belum jelas kebenarannya. Setiap informasi yang diterima mesti diperiksa ulang, agar kita tidak menelan informasi yang sesat dan salah secara mentah-mentah. 


Hal ini merupakan cara sederhana bagi kita untuk membatasi ruang gerak politik ala post-truth yang dimainkan oleh kubu Prabowo-Sandi di era kiwari ini.

Tak Ada Ancaman di Sidang MK dan Tim Hukum Prabowo-Sandi yang Lebay



Pada dasarnya, persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) dapat dipastikan aman. Karena persidangan tersebut merupakan amanat konstitusi dan dilindungi Undang-Undang.


Oleh karena itu, Hakim MK I Dewa Gede Palguna menegaskan tidak boleh ada satu orang pun yang merasa terancam saat memberikan keterangan di hadapan majelis. Ia juga menegaskan jangan membuat persidangan di MK seolah begitu menyeramkan.


Hal tersebut merupakan respon Majelis Hakim MK atas permohonan kuasa hukum Prabowo-Sandiaga, Bambang Widjojanto (BW), yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan soal perlindungan saksi yang mereka ajukan. 


Palguna menilai, belum ada satu pun orang yang merasa terancam menjadi bagian dalam persidangan untuk memberikan keterangan selama MK berdiri sejak 2003. Karena itu, ia meminta Bambang untuk tidak menakuti-nakuti publik.


Palguna menerangkan, sepanjang sejarah MK berdiri, belum pernah ada orang yang merasa terancam ketika memberikan keterangan di hadapan MK. 


Karena itu, ketika seseorang memberikan keterangan, bisa sebagai saksi, ahli atau sebagai pihak-pihak yang berada di dalam pelaksanaan kewenangan mahkamah, orang tersebut tidak boleh merasa terancam.


Dari permintaan BW itu, kita pun tahu bahwa sikapnya hanya berisi paranoid saja. Karena dari pernyataan para saksi di persidangan, tak ada satupun yang diancam saat hendak memberikan keterangan di MK.


Dengan begitu, bisa disimpulkan ketakutan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi itu terlalu berlebihan dan alay. 


Dari kejadian tersebut, kita akhirnya bisa tahu bahwa itu merupakan taktik untuk menciptakan kesan di publik seolah mereka sedang terancam, dan situasinya genting. Padahal, kenyataannya tidak. 


Kalau begitu, bukankah tim kuasa hukum Prabowo-Sandi ini sedang memainkan sandiwara baru? Ini adalah permainan lama, dengan cerita baru. 


Kita sudah paham, sob!

Inilah Sisi Kelam Tim Hukum BPN Prabowo-Sandi



Rekam jejak tim hukum Prabowo-Sandi pada persidangan Mahkamah Konstitusi yang digelar hari-hari ini tidak baik-baik amat. Mereka pernah tersandung kasus yang cukup fatal di masa lalu.


Tim hukum pasangan koalisi 02 tersebut terdiri dari Bambang Widjojanto, Denny Indrayana, Teuku Nasrullah, Luthfi Yazid, Iwan Satriawan, Iskandar Sonhadji, Dorel Almir, dan Zulfadli. Beberapa orang dalam tim hukum tersebut faktanya memiliki cacat hukum di masa lalu. 


Misalnya, Bambang Widjojanto pernah terjerat kasus hukum terkait rekayasa keterangan palsu di Pemilukada Kotawaringin Barat tahun 2010. Kala itu, dirinya menjadi pengacara Ujang Iskadar selaku penggugat di MK. 


Sementara itu, Denny Indrayana terlibat kasus korupsi Payment Gateway pembayaran paspor elektronik. Mantan wakil menteri hukum dan HAM di era SBY ini ternyata pernah menjadi tersangka kasus korupsi.


Orang ini diperiksa terkait dugaan korupsi Payment Gateway terkait pembayaran paspor elektronik. Pembuatan paspor memang menjadi tugas pokok dari kementerian hukum dan HAM. Orang ini diduga menyalahgunakan wewenangnya dalam program sistem pembayaran paspor elektronik.


Dia dijerat dengan Pasal 2 ayat 2, Pasal 3 dan Pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama.


Selain itu, Teuku Nasrullah yang terjerat kasus pencabulan. Pada tahun 2009, Nasrullah pernah dilaporkan oleh mahasiswinya, atas dugaan perbuatan cabul yang dilakukan pada akhir tahun 2000 dan 2001.


Sementara Luthi Yazid yang pernah menjadi pengacara First Travel, ia membela orang yang mencuri uang jemaah yang ingin pergi untuk melakukan umrah.


Kemudian Hashim Djojohadikusumo sebagai penanggung jawab hukum di MK yang pernah berstatus tersangka di kasus BLBI dan BMPK.


Hasim adalah mantan tersangka kasus BLBI senilai 1,53T. Selain itu, dia juga pada tahu 2002, menjadi tersangka kasus pelanggaran batas minimum pemberian kredit (BMPK) Bank Industri. Orang ini pernah mengendap di Rutan Salemba. Dia pernah ditahan di Blok A kamar nomor 1 yang berukuran 2,5 x 1,5. Dia ditahan karena melanggar batas minimum itu.


Nampaknya tidak ada jaminan Prabowo-Sandi bakal menang gugatan. Rekam jejak tim hukum 02 sudah tidak bisa dipercaya lagi. 


Yang perlu diwaspadai bersama adalah jangan-jangan Bambang Widjojanto juga akan melakukan hal sama dengan menggunakan keterangan dari saksi-saksi palsu yang nyaris masuk penjara 7 tahun. Inilah pentingnya kita mengawasi jalannya persidangan di MK. 


Kita harus pastikan persidangan di MK dapat berjalan sesuai aturan yang berlaku, dan berasaskan keadilan dan kebijaksanaan. Karena ini menyangkut kepentingan negara yang luas. 


Mari kita lihat, saksikan dan awasi bersama.

Kesaksian Tidak Konsisten, Saksi Prabowo-Sandi Berkali-Kali Ditegur Hakim MK



Keterangan yang berbelit dan seolah mengarang cerita menjadi pemandangan saksi kubu Prabowo-Sandi di Mahkamah Konstitusi (MK). Alhasil, kejadian itu membuat beberapa hakim MK agak kesal dan meminta saksi untuk berterus terang.


Kejadian itu terjadi saat us Muhammad Maksum memberikan keterangannya dalam sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).


Saat itu, Hakim Saldi Isra sampai menegur Agus agar tidak menginterpretasi suatu peristiwa saat memberikan kesaksian selama sidang.


Selain itu, Hakim Saldi juga mengingatkan Agus agar tidak berbelit-belit memberikan kesaksian guna memudahkan hakim secara objektif mengonfrontasi keterangannya dengan alat bukti yang telah diajukan.


Tak hanya Saldi saja yang kesal. Sebelumnya Hakim Aswanto juga mengingatkan yang bersangkutan agar berterus terang saat memberikan kesaksian.


Hakim Aswanto awalnya menanyakan ada tidaknya ancaman atau tekanan terhadap Agus. Kemudian ia menjawab ada ancaman berupa pembunuhan terjadi saat April. Disinggung ancaman terjadi saat hendak memberikan keterangan di MK, ternyata Agus mengaku tidak ada.


Sikap Agus berulang kali ditegur Hakim Aswanto ini karena enggan menyebutkan pihak mana saja yang mengetahui ancaman tersebut, pun saat ditanya siapa pengancam kepada dirinya.


Bila dilihat dari keterangannya, banyak hal yang tidak konsisten dari saksi yang diajukan oleh Prabowo-Sandi ini. Padahal, keterangannya itu penting untuk mengungkap tudingan yang diberikan mereka.


Melihat kejadian tersebut, kita berharap semoga para Hakim MK dapat bertindak adil dan bijaksana. Serta, tak terpengaruh dengan sikap tidak konsisten para saksi tersebut. 


Kita yakin putusan MK nantinya akan menjadi yang terbaik bagi bangsa dan negara ini.

Rabu, 19 Juni 2019

Tuding Ada Pelanggaran Netralitas Aparat, Bawaslu Tegaskan Tak Pernah Menerima Laporan Keberpihakan Intelijen dan Polisi



Tudingan soal kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif mengemuka di persidangan sengketa hasil Pemilu. Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi menyebut pelanggaran netralitas intelijen dan kepolisian.


Namun faktanya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menyatakan tidak pernah menerima laporan keberpihakan intelijen terhadap salah satu paslon. 


Bawaslu hingga jajaran panwaslu kelurahan/desa juga belum pernah menemukan atau menerima laporan anggota kepolisian melakukan pendataan dukungan masyarakat kepada pasangan capres dan cawapres.


Hal ini dinyatakan oleh Ketua Bawaslu RI Abhan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (18/6).


Hal tersebut untuk menjawab permohonan sengketa pilpres yang diajukan Tim Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di MK, terutama terkait dengan kejadian di Garut.


Dalam gugatan kuasa hukum pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, didalilkan Kapolsek Pasirwangi Kabupaten Garut diperintahkan oleh Kapolres Garut menggalang dukungan untuk pasangan calon Joko Widodo-KH Ma''ruf Amin.


Kenyataannya, Bawaslu Kabupaten Garut dan Bawaslu Provinsi Jawa Barat tidak pernah menemukan atau menerima laporan terkait dengan ketidaknetralan aparat kepolisian di Kabupaten Garut. Dia mengatakan Bawaslu Kabupaten Garut telah melakukan investigasi.


Dalam investigasi itu, Bawaslu melakukan klarifikasi terhadap mantan kapolsek Pasirwangi AKP Sulman Azis, Kapolsek Garut Kota Kompol Uus Susilo, Kapolsek Karangpawitan Kompol Oon Suhendar, dan Kapolsek Kadungora Kompol Jajang Rahmat. Klarifikasi dilakukan pada 4 April 2019.


Berdasarkan hasil klarifikasi, ditemukan fakta dari Kompol Jajang Rahmat, pertemuan dengan Kapolres Garut memang diadakan secara rutin dua kali dalam seminggu untuk membahas pemetaan kerawanan daerah. Pertemuan rutin terkait pemeliharaan ketertiban masyarakat masing-masing daerah.


Selain itu, Kompol Uus Susilo mengatakan Kapolres Garut memerintahkan untuk melakukan pemetaan terhadap daerah-daerah yang rawan konflik dalam Pemilu 2019. Akan tetapi, tidak terdapat perintah untuk mendukung salah satu pasangan calon.


Kapolsek Pasirwangi AKP Sulman Azis juga sudah melakukan klarifikasi terkait pernyataannya di media massa, yakni pemetaan yang dimaksud adalah pemetaan keamanan dan ketertiban masyarakat pada Pemilu 2019. Pertemuan bukan pemetaan dukungan terhadap salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.


Kesimpulannya, setelah dilakukan proses investigasi, Bawaslu Kabupaten Garut menilai bahwa peristiwa tersebut tidak dapat dijadikan sebagai temuan dugaan pelanggaran pemilu karena tidak terpenuhinya syarat formil dan materil.


Begitulah kenyataan di lapangan yang notabene tidak sesuai dengan tudingan Prabowo-Sandi. Fakta-fakta yang diungkapkan oleh Bawaslu tersebut perlu diperhatikan bersama agar tidak menjadi polemik di masyarakat. 


Klarifikasi ini juga penting agar kebenaran dapat ditegakkan.

Sabtu, 15 Juni 2019

Langgar Kode Etik Advokat, Bambang Widjojanto Dilaporkan ke Peradi



Karena diduga melanggar kode etik advokat, Bambang Widjojanto (BW) akhirnya dilaporkan ke Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Pelaporan Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi tersebut dilakukan oleh sejumlah advokat, salah satunya adalah Sandi Situngkir 


Pelaporan ini dilatarbelakangi fakta bahwa saat menerima sebagai kuasa hukum pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 untuk bersidang di Mahkamah Konstitusi (MK), BW masih menjabat sebagai Ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Bidang Pencegahan Korupsi.


Hal tersebut dianggap melanggar kode etik profesi advokat dan UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. 


Itulah wujud vulgar dari penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh BW. Meski saat ini telah cuti, tetapi dia menerima posisi kuasa hukum itu saat masih menjabat sebagai anggota TGUPP. 


Menilik pasal 7 UU Nomor 18/2003 tentang advokat maka, BW akan dihadapkan dengan sanksi yang ringan sampai dengan pemberhentian. 


Sanksi yang diatur dalam pasal 7 undang-undang nomor 18 tahun 2003 antara lain, a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan; d. pemberhentian tetap dari profesinya.


Laporan tersebut akan diproses oleh Peradi sebagai induk advokat di Indonesia. Bila benar melanggar, maka sudah jelas bahwa kubu Prabowo-Sandi memang diisi oleh para pelanggar hukum. 


Sebagai advokat senior, BW harusnya paham mengenai perkara itu. Tetapi dia terabas demi kepentingan politik untuk membela Prabowo-Sandi.


Kita turut prihatin atas kelakuan minim etika dan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang notabene "melek" hukum ini.

Linglung, Angka Klaim Kemenangan Prabowo-Sandi Berubah Lagi



Lagi-lagi, sikap tak konsisten atas klaim kemenangan kembali dilakukan oleh kubu Prabowo-Sandi. Angka kemenangan yang terus berubah menunjukan bahwa mereka tidak memiliki data yang valid.


Perubahan angka kemenangan tersebut terjadi lagi saat sidang sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (14/6). 


Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto kembali mengklaim unggul 71 juta suara dalam Pilpres 2019. Klaim perolehan suara tersebut bertambah dari jumlah sebelumnya sekitar 68 juta.


BW menuturkan proses manipulasi suara ini diduga dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi dengan adanya indikasi proses rekayasa (engineering). Sekaligus juga adjustment (pengaturan) atas perolehan suara yang sejak awal sudah didesain dengan komposisi atau target tertentu, yang dilakukan menggunakan sistem IT tertentu.


Entah apa maksudnya, yang jelas pernyataan itu salah kaprah. Pasalnya, sistem penghitungan di Pemilu saat ini menggunakan sistem penghitungan manual yang berjenjang. Situng hanya digunakan untuk transparansi penghitungan ke publik.


Inkonsistensi angka klaim kemenangan itu menunjukan bahwa koalisi 02 itu linglung. Karena setiap waktu mereka mengklaim menang dengan angka yang tak pasti, mulai dari 62 persen, turun menjadi 58 persen, kemudian turun menjadi 53 persen, dan terakhir 52 persen.


Hal ini menegaskan kebingungannya karena tidak punya data dan fakta yang konkret. Oleh karena itu, mereka lalu mengarang yang membodohi publik karena berubah-ubah.


Karena logikanya, bila mereka benar-benar menang seharusnya angkanya itu tidak berubah. Ini jelas pembodohan terhadap masyarakat. 


Untuk itu, jangan mudah percaya dengan klaim kemenangan yang sangat tidak meyakinkan seperti itu. Mari berpikir waras dengan logika yang lurus.

Tuding "Neo-Orba", Tim Hukum Prabowo-Sandi Siram Wajah Keluarga Cendana di MK




Tudingan tak berdasar bahwa pemeirntahan Joko Widodo otoriter muncul dalam sidang Perselisihan Hasil Pemungutan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (14/6).


Hal ini dituduhkan oleh Anggota tim hukum Prabowo Subianto, Teuku Nasrullah. Ia menyatakan pemerintahan Jokowi ini telah bergaya otoriter Orde Baru. 


Katanya, cara memerintah Presiden Joko Widodo dianggap sebagai Neo-Orde Baru, dengan korupsi yang masif dan pemerintahannya yang represif kepada masyarakat sipil sebagai cirinya.


Menurutnya, ini ciri pemerintahan otoriter dan orde baru. Dia mengutip pernyataan pengamat asing untuk memperkuat argumentasinya.


Salah satu yang berpendapat demikian adalah Prof Tim Lindsey, guru besar hukum dan Indonesianis dari Melbourne University Law School. 


Padahal, kesimpulan riset dari Tim Lindsey tidak seperti itu. Dalam artikelnya, dia tak menyebut Jokowi sebagai otoriter. 


Dalam artikelnya yang berjudul 'Jokowi in Indonesia's 'new order' itu, Profesor Tim berpendapat pengaturan sistem politik yang masih buruk, maka pemenang pemilu akan cenderung bertindak koruptif untuk mengembalikan biasa politik yang sangat mahal.


Kondisi ini berlaku untuk siapapun, tidak hanya untuk Jokowi. Tidak ada jaminan kalaupun Prabowo-Sandi yang menang maka sistem politik di Indonesia bisa lebih baik dari hari ini. 


Bila kondisi hari ini disebut mirip Orde Baru pun, dapat dikatakan itu tidak tepat. Pasalnya, sudah ada banyak perubahan dalam pemerintahan dan relasinya dengan masyarakat. Kebebasan politik, pers, dan berpendapat/berekspresi jauh lebih baik hari ini.


Siapapun yang sudah merasakah hidup di era Orba pasti merasakan perubahan tersebut. Karenanya, tudingan itu pun sangat tak mendasar dan tidak sesuai dengan kenyataannya.


Orde Baru itu adalah era pemerintahan yang buruk, otoriter, dan hanya melahirkan catatan salah satu presiden koruptor paling rakus sedunia. Bahkan ada pengamat menganalisa bahwa harta kekayaan yang sudah dijarah itu tidak akan habis sampai tujuh turunan.


Nah, parahnya mereka kini menngakui itu. Maka dengan tudingan seperti di atas, Teuku Nasrullah sedang wajah-wajah cendana. Padahal Prabowo adalah masih bagian dari keluarga Cendana. 


Apalagi selama ini Tommy dan sepertinya semua keluarga Cendana mendukung Prabowo. Mereka tak mungkin mendukung Jokowi. 


Jadinya, tudingan Teuku itu justru salah alamat. Neo Orba itu jelas bukan Jokowi. 


Harusnya dia menyebut "neo-orba" itu pada kebangkitan keluarga Cendana yang ingin berkuasa kembali. Yaitu, tak lain adalah Prabowo, Tommy, Titiek, dan barisan pemuja Orba yang ingin berkuasa seperti dulu lagi.

Ngawur Mengutip Pendapat, Prabowo-Sandi Banyak Diprotes oleh Para Ahli




Gugatan hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait dengan sengketa hasil Pemilu 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) banyak mengutip pendapat ahli. Namun para ahli yang dikutip itu ternyata mengajukan protes keras. 


Pasalnya, kutipan itu sebagian besar digunakan tanpa konteks yang sesuai. Bahkan ada 'missleading' kesimpulan yang dibuat sendiri oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. 


Salah satu ahli yang keberatan dengan pengutipan pendapatnya itu adalah analis politik asal Australia, Tom Power. Ia protes keras karena artikel yang ditulis dan dipublikasikan di artikel jurnal BIES 2018 dikutip secara serampangan oleh tim hukum Prabowo-Sandi.


Ia memaparkan artikel yang ia tulis saat itu sama sekali tidak menyebut dan menunjukkan indikasi kecurangan pemilu yang berlangsung April lalu, sebab artikel ditulis 6 bulan sebelum pesta demokrasi Indonesia berlangsung.


Kedua, sangat sulit sekali menyimpulkan bahwa tindakan pemerintahan Jokowi yang saya sebutkan bisa diterjemahkan sebagai bukti kecurangan pemilu yang masif dan terstruktur.


Lalu, penelitiannya memang menunjukkan indikasi bahwa pemerintahan Jokowi menunjukkan sikap anti-demokrasi tetapi ia sama sekali tidak menyebut bahwa pemerintahan Jokowi adalah rezim otoriter.


Selain Tom Power, ada juga ahli hukum Bivitri Susanti yang protes kepada BPN Prabowo-Sandi. Ia mengingatkan tim BPN agar tidak hanya mengutip pandangan-pandangan para ahli, seperti membuat makalah ataupun skripsi.


Dalam gugatan hukum, menurutnya, yang penting justru adalah menonjolkan bukti yang mempunyai nilai pembuktian di muka hukum. 


Kemudian, ada juga Bayu Dwi Anggono yang memberikan catatan serius kepada Bambang Widjajanto dkk bahwa ahli yang dikutip pernyataannya harus turut hadir untuk memberikan keterangan bila ingin mempunyai kekuatan pembuktian di muka hukum.


Protes para ahli saat pendapatnya dikutip oleh tim hukum Prabowo-Sandi itu menunjukan bahwa mereka tidak bisa bekerja dengan baik. Mereka asal comot pendapat yang dirasa cocok untuk menguatkan dalil gugatan hukumnya. Tanpa memandang konteksnya.


Inilah yang berbahaya dalam tradisi akademik dan hukum positif. Bisa jadi apa yang diungkapkan oleh Prabowo-Sandi itu akhirnya missleading atau sesat pikir. 


Jadi, buat apa mengutip banyak pendapat ahli kalau pembuktiannya lemah? Itu tidak berpengaruh ke persidangan hukum.

Jumat, 14 Juni 2019

Tidak Transparan dan Plin-Plan, Anies Baswedan Akhirnya Terbitkan IMB Pulau Reklamasi





Sikap tidak transparan dan plin-plan ditunjukab oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam kasus reklamasi teluk Jakarta.

Hal ini terlihat dari langkah Anies Baswedan, menerbitkan sedikitnya 600 IMB untuk bangunan rumah dan rumah kantor di Pulau D. ini menjadi bukti bahwa gubernur memiliki sikap mendua terhadap kelanjutan pulau reklamasi.

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menilai, sikap Anies terhadap kelanjutan proyek reklamasi menjadi tidak jelas.

Di awal menjabat, menegaskan menolak kelanjutan pembangunan namun belakangan secara diam-diam menerbitkan IMB untuk bangunan yang sebelumnya telah disegel.

Anies diketahui sedikitnya telah menerbitkan IMB untuk 409 rumah dan 212 rumah kantor di Pulau D.

Langkah gubenur tersebut lantas dipertanyakan bukan hanya karena sebelumnya telah menyegel bangunan-bangunan di atas pulau reklamasi tetapi IMB tersebut dikeluarkan tanpa dasar hukum yang jelas.

Anies Baswedan dinilai tidak transparan sebab dia seharusnya membeberkan keuntungan yang didapatkan masyarakat dan pemerintah, sementara selama ini rakyat menolaknya.

Kita patut menyayangkan langkah gubenur yang mengesankan secara malu-malu mulai mendukung reklamasi tersebut.

Harus ada ketegasan dari gubernur. Keberpihakannya ke mana. Jangan membuat masyarakat bertanya-tanya, terlebih kalangan LSM dan nelayan yang sejak awal menolak reklamasi.

Dialah yang antara mulut dan perbuatannya tidak sinkron.


Senin, 10 Juni 2019

Hoaks, Foto Mobil Bergambar Prabowo-Sandi Masuk ke Jurang Karena Hindari Infrastruktur Jokowi

Baru-baru ini, sebuah hoaks beredar di media sosial. Dinarasikan sebuah mobil berstiker Prabowo-Sandi terlihat masuk ke jurang karena menghindari infrastruktur Jokowi. 


Gambar yang disebarkan itu tampak seperti tampilan dari situs media online Okezone.com. Dalam tangkapan layar itu, terdapat judul: “Tolak Infrastruktur Buatan Jokowi, Dua Mobil Pendukung Prabowo Nekat Mudik Susuri Jalan Sawah”.


Dalam unggahannya di media sosial, foto tersebut juga dibubuhi caption "Berusaha menghindari kepungan infrastruktur jokowi,sebuah mobil mengalami kecelakaan berat, semoga para penumpang tidak mengalami kerusakan otak yg sama,". 


Misalnya dilakukan oleh akun Facebook (FB) atas nama Muhammad Riski Aditya yang juga menuliskan narasi sebagai berikut: "Hahahaa selamat Mudik!!!".


Postingan maupun sebaran gambar tersebut dapat dipastikan sebagai hoaks. Paslanya, foto yang dipergunakan adalah kecelakaan yang terjadi di jurang kawasan Pasuruan, pada 5 November 2016. Para korbannya adalah mahasiswa UGM yang sedang praktik di RSJ Lawang.


Lalu, mobil jenis Avanza dengan warna polos itu dimanipulasi dengan ditambahkan gambar tim kampanye Prabowo Sandi. Hal ini sebagaimana dikonfirmasi oleh Eko Juniarto, relawan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo.


Postingan itu diduga kuat dibuat oleh pihak-pihak tertentu untuk menyudutkan kubu pendukung Jokowi. Jadi seakan-akan narasi tersebut dibuat oleh pendukung Paslon 01. 


Oleh karena itu, masyarakat diharapkan tidak mudah terprovokasi narasi negatif yang sengaja dibangun untuk mengadu domba antara pendukung Paslon 01 dan Paslon 02. 


Infrastruktur yang dibangun Pemerintah adalah untuk seluruh rakyat Indonesia, tidak untuk golongan tertentu. 


Mari berpikir cerdas dan waras, jangan mudah termakan hoaks dan fitnah.

Suasana Hati PAN dan Demokrat Sudah Pisah dari Prabowo-Sandi, Menuju Jokowi?

Meski pada Pemilu 2019 lalu, PAN dan Demokrat mendukung pasangan Prabowo-Sandi, namun saat ini suasana hati kedua parpol itu sudah tak ada di sana. Mereka kini lebih dekat dengan pasangan calon presiden nomor urut 01, Jokowi-Ma'ruf.


Sikap PAN dan Partai Demokrat ini memang tidak terang-terangan mendukung Jokowi-Ma'ruf usai pilpres, namun dalam komunikasi politik yang telah dibangun kedua parpol ini menunjukkan adanya perubahan dukungan ke pasangan 01.


Pandangan seperti ini sebagaimana diutarakan oleh pengamat politik dari FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno.


Indikasinya sudah jelas, Ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sudah empat kali bertemu dengan Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. 


Begitu juga Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan sudah dua kali berkomunikasi dengan Presiden Jokowi.


Meski beralih dukungan, sikap dari kedua partai tersebut sangat wajar dalam iklim demokrasi. Pasalnya, dalam pelaksanaan pilpres, parpol tidak ada ikatan khusus berkoalisi seumur hidup. 


Usai pilpres parpol bisa membangun komunikasi politik dengan siapa pun, termasuk PAN dan Demokrat yang berkomunikasi dengan 01. Jadi, keluar dari koalisi tidak perlu ada deklarasi.


Jika gugatan Prabowo-Sandi kalah di MK, PAN dan Demokrat akan menawarkan diri siap berada di pemerintahan manakala dibutuhkan. Hal ini berbeda dengan Gerindra dan PKS yang jelas tidak ingin Jokowi kembali menjadi presiden.


Inilah akhir dari politik pasca Pilpres 2019, sekaligus hancurnya koalisi Prabowo-Sandi. Sayonara Prabowo-Sandi!

Di Ambang Perpecahan, Partai Demokrat Usulkan Bubarkan Koalisi Adil dan Makmur

Koalisi Adil dan Makmur yang digalang Prabowo-Sandi benar-benar di ujung tanduk. Pasalnya, usulan untuk membubarkan koalisi sudah muncul, bahkan dari anggota koalisi tersebut. 


Adalah, Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik mengusulkan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto segera membubarkan koalisi partai politik pendukungnya.


Adapun parpol pendukung yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Adil dan Makmur yakni, Partai Gerindra, PKS, PAN, Berkarya dan Demokrat.


Usulan ini disampaikan Rachland melalui akun Twitter pribadinya. "Saya usul, Anda (Prabowo) segera bubarkan koalisi dalam pertemuan resmi yang terakhir," ujar @RachlandNashidik, Minggu (9/6/2019).


Menurut Rachland, saat ini Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 telah usai.


Kendati Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo-Sandiaga mengajukan sengketa hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun Rachland menilai proses tersebut tidak melibatkan peran partai.


Hal ini didasari keyakinan bahwa gugatan ke MK adalah gugatan pasangan Capres. Bukan gugatan partai pengusung koalisi. 


Siapapun nantinya yang terpilih menjadi Presiden setelah putusan MK, kita tidak akan lupa siapa partai yang setia. Meskipun koalisi telah dibubarkan. 


Dengan usulan tersebut, perpecahan koalisi 02 sudah di depan mata. Tinggal menunggu waktu saja. 


Sayonara Prabowo, selamat tinggal koalisi Adil dan Makmur!

Rabu, 05 Juni 2019

Isu Mobilisasi Aparatur Negara Mudah Sekali Terpatahkan, Simak Ini Faktanya!

Sejak awal kubu Prabowo-Sandi selalu menuduh capres petahana melakukan kecurangan. Salah satu yang dituduhkan adalah soal mobilisasi aparatur sipil negara dan pegawai BUMN. 


Tuduhan itu pun dimasukkan dalam gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada poin nomor 39, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi berpandangan bahwa Joko Widodo sebagai capres petahana melakukan pelanggaran pemilu dan kecurangan masif. 


Salah satunya dengan ketidaknetralan aparatur negara, Polri, dan intelijen serta penyalahgunaan birokrasi dan BUMN. 


Namun, tuduhan itu sepertinya akan mentah dan terpatahkan dengan sendirinya. Pasalnya, kenyataannya justru tidak seperti itu. 


Terbukti, berdasarkan survei ada 78 persen pegawai BUMN yang justru memilih pasangan Prabowo-Sandi. Kemudian, ada 72 persen ASN yang juga memilih pasangan nomor urut 02 tersebut. 


Kalau Jokowi benar memobilisasi ASN dan pegawa BUMN harusnya mereka menang telak di segmen pemilih tersebut. Faktanya justru kalah. 


Selain itu, Jokowi-Maruf Amin juga kalah telak di Aceh, NTB, dan Sumatera Barat. Kalau disebut memobilisasi Polri-TNI harusnya mereka menang di seluruh wilayah. 


Dengan data seperti itu, seharusnya kita bisa mudah memahami bahwa tuduhan mobilisasi aparatur negara itu hanyalah tuduhan tak berdasar saja. Pasalnya, kenyataannya tidak ada dan hasilnya pun tidak seperti yang dituduhkan. 


Lantas, siapa saja yang memenangkan Jokowi-Maruf Amin? Menurut LSI Denny JA, pasangan Jokowi-Ma'aruf Amin berhasil menumbuhkan militansi tiga segmen pemilih yang sangat besar sumbangannya. 


Pertama adalah segmen pemilih kaum minoritas. Jumlahnya 10-11 persen tapi di segmen ini kemenangan Jokowi dinilainya telak. 


Kedua adalah segmen wong cilik. Siapa wong cilik? Wong cilik adalah pemilih yang penghasilannya dua juta ke bawah. Data BPS dan juga data survei kita menunjukkan jumlah mereka banyak sekali. Sekitar 50 persen dari jumlah populasi


Suara merekalah penentu siapa yang menang. Menurut Denny JA, mereka ini pendidikannya mungkin paling tinggi SD, SMP, dan SMA yang tinggal di desa-desa umumnya.


Ketiga, pemilih Muslim khususnya dari komunitas NU. Adalah pemilih yang populasinya 85 persen penduduk Indonesia. Pemilih Muslim ini komunitas yang merasakan bagian dari NU dan mereka mendukung Jokowi-Maruf.


Dengan fakta seperti itu, maka tudingan bahwa Jokowi memobilisasi aparatur negara kembali terpatahkan. Pasalnya, kekuatan pendukung Jokowi bukan dari mereka. Sebaliknya, para aparatur negara itu sebagian besar malah memilih Prabowo-Sandi. 


Diakui atau tidak, tudingan kubu Prabowo-Sandi di atas membuktikan bahwa mereka asal melemparkan isu negatif saja. Mereka tak pernah riset atau survei terlebih dahulu, sehingga tuduhannya mudah dipatahkan.

BPN Prabowo-Sandi Cuci Tangan, Sangkal Adanya Politisasi Ani Yudhoyono

Setelah junjungannya membuang kotoran, biasanya giliran anak buah yang membersihkannya. Upaya cuci tangan pun juga dilakukan untuk membersihkan nama junjungan tersebut.


Itulah peran sehari-hari dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto untuk menjaga nama baik sang junjungan. Bila sang junjungan itu melakukan kesalahan, merekalah yang akan pasang badan untuk membersihkan namanya. 


Baru-baru ini, kelakuan seperti itu terulang kembali. Ketika Prabowo Subianto melakukan blunder dengan mempolitisasi pilihan politik Ani Yudhoyono pasca kematiannya, BPN Prabowo-Sandi langsung berupaya cuci tangan untuk membersihkan namanya. 


BPN menegaskan bahwa Prabowo tak bermaksud untuk mempolitisasi pernyataannya soal Ani Yudhoyono. Mereka juga menyakini Prabowo juga tidak bermaksud memperkeruh suasana keluarga Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masih berduka.


Pernyataan di atas tentu saja sangat naif. Pasalnya, gesture SBY terlihat berubah saat Prabowo membicarakan pilihan politik Ani Yudhoyono pada 2014 dan 2019. SBY terlihat kecewa dan tidak nyaman dengan pernyataan Prabowo tersebut. 


Jadi, meskipun berusaha diklarifikasi oleh BPN Prabowo-Sandi, kemarahan keluarga SBY itu tak bisa ditampik. Mereka terlanjut kecewa dengan pernyataan nir-empati dari Prabowo tersebut.


Di sisi lain, kejadian ini menunjukan bahwa BPN sebagai tim sukses Prabowo-Sandi tak bisa memberikan masukan yang positif terhadap capresnya. Sebaliknya, justru berupaya untuk cuci tangan dengan tidak mau mengakui atau instropeksi diri. 


BPN harusnya memberikan masukan kepada Prabowo agar segera meminta maaf dan menarik ucapannya yang tak elok itu. Akui secara jujur saja bahwa mereka telah membuat SBY kecewa dan tak nyaman, kemudian meminta maaf. Mungkin cara "gentlement" seperti itu lebih baik.

Bom Bunuh Diri Meledak di Sukoharjo, Gubernur Jateng Minta Masyarakat Tetap Tenang

Sebuah ledakan terjadi di kawasan Kartasura, Sukoharjo, Senin (3/6) malam. Dikabarkan ledakan terjadi di sekitar pos polisi.


Dalam info yang beredar, ledakan bersumber dari seseorang yang meledakkan diri. Hingga saat ini tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu.


Menanggapi itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengimbau masyarakat di Jateng untuk tetap tenang. Ia meminta masyarakat tetap melakukan aktivitas normal usai ledakan yang terjadi tadi malam.


Masyarakat diimbau beraktivitas seperti biasa, dan biarkan aparat kepolisian bekerja melakukan penanganan. Mudah-mudahan segera diungkap motif dan identitas pelakunya.


Ganjar juga meminta masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan segera melaporkan kepada pemerintah atau pun TNI-Polri jika mendapatkan informasi atau melihat hal-hal yang mencurigakan.


Hal ini agar segera mendapat tindakan yang cepat. Juga mencegah terjadinya teror yang lebih luas. 


Pada dasarnya, bom bunuh diri tersebut bukanlah jihad agama. Melainkan aksi teror biasa yang dilakukan pelaku untuk menebarkan ketakutan dan kebencian. 


Jangan takut dengan aksi terorisme, kita yakin masyarakat akan melawan.

Mulai Terkuak, Pengakuan Jusuf Kalla soal Prabowo Telepon Orang untuk Hentikan Aksi Demonstrasi

Peran Prabowo Subianto dalam kerusuhan 21-22 Mei semakin jelas. Hal ini merujuk pada pengakuan Jusuf Kalla (JK) saat bertemu dengan capres nomor urut 02 tersebut.


JK menyebut Prabowo ingin menempuh jalur konstitusional dengan menggugat hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). 


Saat bertemu dengan JK itu, Prabowo menelepon semua orang-orangnya untuk menghentikan semua aksi massa. Dia perintahkan untuk menghentikan semua aksi massa dan akan menjalani proses konstitusi yang baik. 


Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Wapres JK dalam wawancara di kediamannya, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (4/6/2019). 


Pengakuan JK tersebut memberikan titik terang bagaimana Prabowo sendiri memiliki kendali langsung atas massa yang berdemo. Terbukti dia mampu melakukan komunikasi berarti ada perencanaan dan koordinasi baik sebelum dan sesudah demo.


Dengan kenyataan seperti itu, kubu 02 sudah tidak bisa lagi mengelak bahwa mereka jelas berada di balik aksi demo yang gagal total itu. Aksi demo yang termasuk massif, terstruktur, sistematis dan brutal serta rusuh maksimal itu adalah cara yang memang direstui Prabowo asalkan kepentingannya diperjuangkan. 


Padahal selama ini, elite dan kubu 02 terus mengelak bahwa perusuh bukan bagian dari kelompoknya. Tetapi jelas-jelas mereka mengacungkan simbol dua jari dan bersatu dengan menghalalkan segala cara untuk memenangkan Prabowo.


Perlahan kebenaran akan terkuak dengan sendirinya. Terutama terkait dengan siapa dalang dan aktor utama dalam kerusuhan 21-22 Mei itu. 


Yang pasti kemungkinan besar akan mengarah pada kubu Prabowo, dkk. Tak ada kandidat lain yang lebih kuat.


Kita berharap semoga segera terbongkar agar para perusuh negara ini tidak mengulangi aksi penuh kekerasan itu lagi.

Bantah Prabowo, Mendiang Ibu Ani Yudhoyono Netral pada Pemilu 2014

Banyak yang menyangsikan dukungan mendiang Ibu Negara Ani Yudhoyono atas dukungannya ke Prabowo Subianto. Salah satu yang meragukan itu adalah mantan Politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul.


Ia membantah Prabowo Subianto yang menyatakan dirinya didukung oleh mendiang Ibu Negara Ani Yudhoyono pada Pemilu 2014 dan 2019. 


Menurut kesaksiannya, saat Pemilu 2014 silam, SBY dan Ani Yudhoyono tegas bersikap netral. Baru pada tahun 2019 ini Demokrat mendukung Prabowo-Subianto. 


Itu pun tak seluruhnya bulat, karena sebagian pendukung Demokrat memilih Jokowi. 


Ruhut justru menyoroti sikap SBY yang tampak kesal karena Prabowo menyeret pilihan politik istrinya ketika dia sedang berkabung. Pasalnya, Prabowo  bicara politik tidak pada tempatnya. 


Hal ini menunjukan bahwa Prabowo tidak tahu diri. Bukannya berempati terhadap SBY dan keluarga besarnya yang tengah berkabung karena kehilangan "memo" tercinta, tetapi justru mengungkit pilihan politiknya. 


Kita juga turut menyayangkan kelakuan Prabowo seperti itu. Sebagai tokoh masyarakat seharusnya dia dapat lebih peka dengan situasi. 


Jangan hanya karena 'mencari muka' dan dukungan masyarakat dia berbicara politik di saat takziah. Sungguh tak tahu diri.